Minggu, 24 Mei 2009

BAGAIMANA NABI SAW SHALAT

Judul Asli
FATAAWAA MUHIMMAH TATA’ALLAQU BISH-SHOLAATI

Penulis
Syeikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz
---------------------------------------------------------
Edisi Bahasa Indonesia
BAGAIMANA NABI SAW SHALAT


Penerjemah
Ahmad Fauzi

Editor
K.H. Jamaluddin Kafie, Drs. Amien MZ.

Desain Muka & Perwajahan Isi
Abi Syaibah, Al-Manfaluthy


Cetakan Pertama
Maret 2001


Penerbit
CV. Nur Cahya Gusti
SANGGAR AD-DZIKIR
Jl. PLN. No. 1 Prenduan Sumenep

KATA PENGANTAR

Segala sanjungan dan pujian kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah menciptakan sekalian makhluq di seluruh alam untuk beribadah kepadaNya. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW pembawa risalah kebenaran, juga kepada keluarga dan para sahabatnya, serta seluruh ummat yang mengikuti sunnah beliau sampai akhir hari Pembalasan nanti.
Shalat merupakan sebuah realisasi aplikatif dari ikrar seorang muslim dengan berserah diri kepada Allah SWT yang tidak bisa ditawar dengan amal lain apapun. Shalat adalah pangkal segala amal, karenanya kita menyadari inilah ibadah yang akan pertama kali dihisab kelak di hadapanNya. Ada banyak sekali saudara-saudara muslim(at) kita jumpai mengerjakan ibadah shalat dengan cara tidak sebagaimana yang disyariatkan, karena taqlid buta dan atau provokasi bid’ah yang dihembuskan oleh kelompok-kelompok –mungkin- yang memang tidak tahu atau oleh lainnya yang memang punya kepentingan supaya kemurnian ajaran Islam lenyap dari prilaku kaum muslimin.
Hal ini terjadi karena kesalahan persepsi tidak sedikit orang bahwa dari segala bentuk amal ibadah Allah SWT menilai ketulusan ubudiyahnya tanpa memperhatikan tuntunan bagaimana seharusnya dilaksanakan. Semakin jauh lagi ketika mereka cendrung mengesampingkan hasrat mendalami ilmu agama dan terlena menikmati ilmu pengetahuan modern yang sifatnya hanya untuk kepentingan hidup duniawi semata, terbawa hingga mereka dewasa memasuki dunia rumah-tangga dan kemudian berkecimpung dalam kehidupan social yang lebih luas, pengetahuan dan pemahaman bagaimana menjalankan perintah shalat ini belum juga ditegakkan dengan sempurna. Naïf sekali ketika orang tua tidak dapat membetulkan cara anak-anaknya shalat, atau bahkan dia yang disalahkan oleh mereka karena kesalahan yang tidak pernah disadari. Padahal suatu amal ibadah yang dikerjakan dengan tidak sebagaimana tuntunannya tentu akan menyesatkan dan sia-sia, dan kita hanya akan berpayah-payah membuang usia dan tenaga saja di muka bumi.
Sabda Nabi SAW, “Janji yang telah diikrarkan antara kita dan mereka ialah shalat. Maka, siapa meninggalkannya sungguh dia telah kufur.” (HR. Imam Ahmad dengan sanad Shahih dari Burairah bin Hashieb r.a.)
Dengan ikhlash bershalat kita akan terbimbing ke arah kebajikan dan tertanam di dalam hati kita kecintaan kepada Allah yang Maha Pencipta dan Pemberi rahmat. Sementara seorang hamba yang mencintai Allah SWT sepenuh jiwa-raganya dengan shalat sebagai media mendekatkan diri kepadaNya, Dia tentu akan dekat dan cinta pula kepadanya. Jika Allah SWT mencintai seorang hamba, Dia akan menjadi pendengaran yang dengannya dia mendengar; Dia akan menjadi penglihatan yang dengannya dia melihat; dan Dia sebagai kaki yang dengannya dia tegak dan berjalan.
Buku ini berupa ringkasan tanya-jawab soal seputar bagaimana seharusnya shalat sesuai cara yang disyariatkan oleh Rasulullah SAW pada masa sahabat dahulu, dari karya Syeikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz berjudul FATAAWAA MUHIMMAH TATA’ALLAQU BISH-SHOLAATI.
Semoga pengetahun kita tentang seluk-beluk shalat sesuai tuntutan syariat yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat Anshar dan Muhajirin dahulu dapat kita teladani sebagaimana mestinya, sehingga kita tidak dapat sesat atau disesatkan oleh ajaran-ajaran yang dewasa ini banyak bermunculan mengaku pembaharu risalah.(?)
Mudah-mudahan Allah SWT meridlai segala ibadah kita dan memperkenankan permohonan kita menjadi hamba yang shaleh di sisiNya. Amien.
Roma, 9 Maret 2001


S a l a m ,
PENTERJEMAH















DAFTAR ISI


A. SYARAT-SYARAT SHALAT
1. Shalat di negeri yang lama waktu siang dan malam
2. Shalat tanpa menutup pundak
3. Shalat Subuh menjelang pagi
4. Mengenakan sarung panjang
5. Keliru arah Kiblat
6. Melafadhkan niat
7. Keutamaan shalat di Hijir Isma’iel
8. Membedakan darah haid dan istihadlah
9. Qadla’ shalat
10. Aurat wanita dalam shalat
11. Shalat pada masa pertama habis haid
12. Shalat di mesjid yang terdapat kuburan di dalamnya
13. Menunda shalat
14. Mendapatkan benda najis pada pakaian ketika shalat
15. Hukum meninggalkan shalat
16. Orang pingsan wajib shalat ketika siuman
17. Orang sakit menunda shalat
18. Sengaja meninggalkan shalat
B. A D Z A N
19. Adzan sesudah lewat waktunya
20. Disyariatkan adzan bagi kaum wanita?
21. Shalat tanpa adzan/iqamat
22. Dalil lafadh Ash-Sholaatu Khairun Minan-Nauum
23. Mengulang-ulang lafadh Ash-Sholaatu Jaami’ah
pada waktu shalat gerhana
C. SIFAT SHALAT
24. Shalat dengan menggunakan aling-aling/pembatas
25. Diutamakan menaruh tangan kanan di atas tangan kiri
26. Duduk istirahah
27. Shalat di dalam pesawat terbang
28. Banyak bergerak membatalkan shalat
29. Mendahulukan lutut daripada tangan ketika
hendak sujud
30. Berdehem ketika shalat
31. Melintas di hadapan orang yang sedang shalat
32. Mengangkat tangan ketika berdoa
33. Mengusap dahi seusai shalat
34. Berjabatan tangan sesudah shalat
35. Bergeser tempat untuk shalat sunnat
36. Disyariatkan membaca :
LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAHUU LAA
SYARIEKA LAHUU...
setiap habis shalat Maghrib dan Subuh
D. SHALAT JEMAAH
37. Hukum shalat berjemaah
38. Bagaimana makmum membaca surah Al-Fatihah
39. Dilarang mendekati mesjid?
40. Mengatur shaf
41. Bermakmum kepada orang yang shalat sunnat
42. Shalat sendirian di belakang shaf
43. Disyariatkan Niat Imam bagi imam
44. Bagaimana makmum masbuq menyempurnakan shalat
45. Shalatnya makmum di laur mesjid
46. Bagaimana memperoleh rakaat
47. Imam menunggu makmum
48. Posisi shaf 2 orang makmum di belakang imam
49. Shalatnya dua jemaah dalam satu mesjid
50. Imam batal wudlu’ ketika shalat
51. Bagaimana memperoleh kriteria jemaah
52. Shalat sunnat Fajar sesudah iqamat dikumandangkan
53. Salam di akhir shalat
54. Keraguan rakaat makmum masbuq
55. Mengimami shalat tanpa wudlu’
56. Imam yang pendosa
57. Posisi seorang makmum di belakang imam
E. SUJUD SAHWI
58. Meragukan rakaat shalat
59. Sujud Sahwi sebelum atau sesudah salam
60. Kapan Sujud Sahwinya makmum?
61. Beberapa hal disyariatkannya Sujud Sahwi
F. JAMAK DAN QASHAR
62. Mengerjakan Jamak dan Qashar sekaligus?
63. Kapan Jamak dan Qashar bagi musafir?
64. Jarak perjalanan diperbolehkannya Jamak dan Qashar
65. Hukum menjamak Maghrib dan Isya’ karena hujan
66. Apakah niat merupakan syarat Jamak?
67. Haruskah Jamak dikerjakan secara berturut-turut?
68. Shalatnya musafir dengan berjemaah atau sendirian?
69. Orang mukim bermakmum kepada musafir
70. Berbeda niat antara imam dan makmum dalam
shalat Jamak
71. Hukum shalat rawatib/sunnat dalam perjalanan
G. RAGAM PERSOALAN
72. Sujud Tilawah
73. Shalat gerhana dan Tahiyat Mesjid sesudah Ashar atau
pada waktu-waktu yang dilarang
74. Waktu berdoa dan dzikir pada akhir shalat
75. Hukum membaca dzikir secara serempak seusai shalat
76. Berbicara ketika sedang shalat
77. Cara shalat Nabi Muhammad SAW


***
SYARAT SHALAT

1) Di suatu daerah di belahan bumi ini di mana waktu malam atau siang amat panjang atau singkat, bagaimana kita dapat menunaikan shalat menurut waktu yang semestinya ?
• Bagi penduduk suatu daerah di mana waktu siang atau malam sangat lama dibanding daerah lain pada umumnya yang perputaran terbit dan terbenamnya matahari bukan 24 jam, haruslah menunaikan kewajiban shalat yang lima waktu dengan perkiraan, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada suatu hari di mana siang hari lamanya setahun, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Nawas bin Sam’an dalam buku Shahih Muslim.
Sabda beliau, “Lakukanlah shalat menurut perkiraan!”
Begitu pula hukum shalat pada hari yang lama waktunya sebulan ataupun yang seminggu.
Adapun daerah yang amat singkat waktu malam dan panjang waktu siangnya atau sebaliknya dengan masa sehari-semalam 24 jam, maka sudah cukup jelas hokum menunaikan shalat fardlu seperti awaktu pada hari-hari biasa. Jika begitu singkatnya waktu malam di daerah itu, maka dilakukan dengan cara mengikuti hujjah-hujjah setempat yang umum. Wallahu waliyyut taufieq.

2) Sebagian orang menunaikan shalat fardlu tanpa menutupi kedua pundaknya, terlebih ketika Ihram dalam ibadah haji. Bagaimanakah hukumnya?
• Boleh, jika karena faktor yang tidak memungkinkan. Berdasarkan firman Allah SWT :



Artinya, “Bertakwalah kamu sekalian menurut kemampuanmu!” (QS. At Taghabun : 16)
Dan didasarkan atas sabda Nabi SAW dari riwayat Jabir bin Abdillah r.a. :


Artinya : "Jika pakaiannya lebar, lipatlah; jika sempit, uraikanlah!“ (HR. Muttafaq 'Alaih)
Adapun, jika mampu menutupi kedua pundak atau salah satu, dia wajib menutupinya. Demikian menurut pendapat yang paling benar dikalangan ulama’. Jika dilanggar, maka tidak sah shalatnya, berdasarkan sabda Nabi SAW :


Artinya : "Tidak sah shalat seseorang di antara kalian mengenakan satu pakaian yang tidak ada sesuatu apapun menutupi di atas pundaknya.“ (HR. Muttafaq 'Alaih)
3) Ada sebagian orang mengerjakan shalat subuh hingga akhir malam dengan beralasan sebuah hadits: "Tunaikanlah shalat subuh pada akhir malam!“
Apakah benar hadits itu shahih? Lalu, bagaimana dengan hadits : "Kerjakanlah shalat pada waktunya!“ ...?
• Hadits di atas shahih diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlussunnah dengan sanad Shahih dari Rafi’ bin Khadiej r.a. dan ini tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih lain yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengerjakan shalat Subuh pada waktu menjelang pagi. Dan, juga tidak bertentangan dengan hadits yang menyatakan: “Kerjakanlah shalat pada waktunya!“ akan tetapi, yang dimaksud dengan hadits tersebut menurut Jumhur Ulama’ adalah tidak menyegerakan shalat Subuh hingga benar-benar jelas waktu fajar telah tiba kemudian dikerjakan sebelum datang waktu pagi, sebagaimana Nabi Muhammad SAW melakukan demikian. Kecualiu di Muzdalifah, diutamakan segera shalat ketika fajar menyingsing. Yang demikian dikerjakan Nabi Muhammad SAW pada waktu Haji Wada’.
Demikianlah waktu yang dimaksud dalam hadits-hadits Nabi Muhammad SAW berkenaan dengan waktu melaksanakan shalat Subuh, sebagai waktu yang paling utama. Namun boleh juga melambatkannya hingga akhir waktu sebelum terbitnya matahari, berdasarkan hadits beliau :



Artinya, “Waktu mengerjakan shalat Subuh adalah dari menyingsingnya fajar hingga menjelang matahari terbit.“ (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya dari Abdillah bin Amr bin Ash r.a.)
4) Di antara orang ada yang mengerjakan shalat dengan mengenakan baju yang relatif minim dan celana yang terlalu panjang. Bagaimana menurut anda?
• Yang disunnatkan, hendaknya pakaian bawah tidak lebih dari batas di bawah betis hingga mata kaki. Tidak boleh dari batas itu berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW:


Artinya, “Sarung yang melebihi batas mata kaki adalah di neraka.”
Tidak ada bedanya antara celana, sarung dan baju maupun mantel dan sejenisnya. Melainkan sarung dalam hadits di atas hanyalah sebagai misal saja dan bukan satu-satunya. Tetapi pakaian yang utama adalah hingga batas di bawah betis.
Sabda Nabi SAW :


Artinya, :Sarung seorang mukmin hingga bawah betisnya.“
5) Apakah hukumnya apabila seseorang selesai mengerjakan shalat ternyata salah arah Kiblat padahal dia telah yakin benar? Apakah berbeda jika hal itu terjadi di negeri Islam atau negeri kafir?
• Jika seaorang muslim sedang dalam perjalanan atau berada di suatu daerah di mana dia tidak menemukan orang yang menunjukinya arah Kiblat maka shalatnya sah, karena dia telahj berikhtiar walaupun ternyata dia mengerjakan shalat pada arah Kiblat yang keliru.
Sedangkan, apabila dia berada di daerah muslim maka shalatnya batal karena memungkinkan dia bertanya mana arah Kiblat kepada orang atau dengan mengenal mesjid.
6) Kita seringkali mendengar orang melafalkan niat ketika memulai shalat. Apakah hukumnya? Apakah hal itu memang ada dasarnya dalam hukum syara’?
• Tidak ada dasar hukumnya wajib melafalkan niat ketika shalat. Dan tidak pernah ada riwayat yang mewajibkan hal itu, baik dari Nabi SAW atau sahabat. Karena letak niat dalam hati. Sabda Nabi SAW :



Artinya, “Setiap amal perbuatan dengan niat. Dan bagi setiap orang apa yang diniatkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari riwayat Umar bin Khathab r.a.)
7) Kita menjumpai banyak sekali orang-orang yang berdesak-desakan untuk dapat mengerjakan shalat di Hijir Isma’iel. Apakah gerangan hukum shalat di sana? Ataukah terdapat suatu keistimewaan?
• Shalat di Hijir Isma’iel sangatlah dianjurkan karena tempat itu adalah bagian dari Bait. Hal ini dibenarkan oleh sebuah riwayat bahwa Nabi SAW memasuki Ka’bah pada waktu Pembebasan Kota Mekkah, kemudian shalat dua rakaat. (Dsiriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari riwayat Ibnu Umar r.a. dan Bilal r.a.). dan, sabda beliau kepada Aisyah r.a., “Shalatlah kamu di Hijir, karena itu bagian dari Bait!“
Adapun shalat fardlu, sebaiknya tidak dikerjakan di Ka’bah atau Hijir Isma’iel. Karena Nabi Muhammad SAW tidak mengerjakan demikian, dan apra ulama’ menyatakan bahwa shalat di dalam Ka’bah dan Hijir Isma’iel tidaklah sah karena itu merupakan bagian dari Bait.
Maka, jelaslah bahwa shalat fardlu dikerjakan di luar Ka’bah dan Hijir Isma’ielk demi mengikuti sunnah Nabi SAW dan untuk menghindari pertentangan ulama’ yang memandang tidak sah shalat di dalam Ka’bah maupun Hijir Isma’iel. Wallahu waliyyut taufieq...
8) Banyak kaum perempuan tidak dapat membedakan antara darah haid dan istihadlah sehingga dia tidak shalat selama darah terus mengalir. Bagaimanakah hukumnya?
• Darah merupakan darah yang umumnya datang sebulan sekali. Bagi wanita yang mengalami hal ini, perlu diketahui 3 perkara :
a. Ketika darah bulanan datang, tidak diperkenankan dia shalat atau berpuasa, dan juga tidak diperbolehkan sang suami menggaulinya hingga dia suci, dengan masa antara 14 sampai 15 hari.
b. Apabila masih terus mengalir hingga lewat 15 hari, maka darah itu adalah darah istihadlah. Dia harus menghitung waktu haidnya 6 atau 7 hari dari masa itu, dan berkonsultasi kepada kelaurganya yang mengerti, jika dia tidak dapat membedakan antara darah haid dan lainnya. Jika dia dapat membedakan hal itu dari mengenal warna dan baunya tetapi dia tidak shalat, puasa dan tidak menggauli suaminya, hendaklah dia segera mandi dan shalat dengan syarat tidak lebih dari 15 hari.
c. Hendaklah dia dapat mengenal kebiasaannya datang bulan, kemudian mandi dan berwudlu’ untuk shalat dan menggauli suami, hingga tiba waktu biasanya datang bulan berikutnya.
9) Jika seseorang ketinggalan shalat Dluhur, misalnya, dan baru ingat ketika memasuki waktu Ashar berjemaah, haruskah dia shalat dengan niat Ashar atau Dluhur? Ataukah dia kerjakan shalat Dluhur sendirian terlebih dahulu baru kemudian Ashar? Dan, apakah yang dimaksud oleh para ulama’ bahwa apabila khawatir ketinggalan shalat yang kini saatnya (Ashar) maka tidak perlu berurutan (mendahulukan shalat Dluhur)? Apakah karena khawatir ketinggalan shalat Ashar berjemaah, menjadi alasan dia tidak mengerjakan shalat secara berurutan menurut waktunya?
• Bagi orang sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan di atas, tetaplah dia kerjakan shalat berjemaah itu tetapi dengan niat Dluhur kemudian shalat Ashar. Yang demikian adalah karena wajibnya tertib (berurutan). Sebab, wajibnya tertib tidak dapat ditinggalkan dengan alasan takut ketinggalan waktu jemaah.
Sementara yang dimaksud oleh para ulama’ Fiqih Apabila takut ketinggalan waktu shalat yang kini maka tidak wajib tertib adalah bahwa bagi orang yang takut ketinggalan shalat hendaklah mengerjakan shalat itu sebelum mengerjakan shalat yang kini. Jika waktu shalat yang sekarang sudah sempit, segeralah kerjakan shalat yang kini. Seumpama : seseorang ketinggalan shalat Isya’, dan tidak menyadari hingga menjelang terbitnya matahari, dan diapun juga belum shalat Subuh, maka hendaklah dia kerjakan terlebih dahulu shalat Subuh sebelum habis waktunya baru kemudian mengerjakan shalat yang ketinggalan itu.
10) Tidak sedikit kaum wanita memandang remeh hal mengerjakan shalat. Dia memperlihatkan lengan atau sebagian dari tangannya. Bahkan kerapkali juga dia memperlihatkan kaki dan betisnya. Apakah shalatnya ketika itu sah?
• Adalah wajib bagi wanita mukallaf menutup aurat dalam shalat selain muka dan kedua telapak tangan. Sebab, seluruh tubuh wanita adalah aurat. Maka, apabila dia shalat sementara terlihat sebagian dari auratnya seperti betis, kaki, kepala, tidaklah sah shalatnya. Berdasarkan hadits Nabi SAW :


Artinya : “Allah tidak menerima shalat seorang wanita kecuali dengan mengenakan kerudung.” (HR. Ahmad)
Yang dimaksud dengan wanita adalah wanita yang sudah baligh (dewasa).
Diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a. bahwa dia bertanya kepada Nabi SAW tentang seorang wanita shalat dengan mengenakan kerudung dan jubah tetapi tidak memakai sarung. Sabda beliau, “Boleh, asal jubahnya menutupi hingga kedua kakinya.“
Kata Alhafidh bin Hajar r.a. dalam Kitab Al-Buluugh, “Para ulama’ membenarkan riwayat Ummu Salamah r.a. bahwa apabila dalam shalat terdapat laki-laki lain yang bukan muhrimnya maka wajiblah seorang wanita menutupi wajah dan kedua telapak tangannya.“
11) Apabila seorang wanita suci dari haid pada waktu Ashar, apakah dia wajib mengerjakan shalat Dluhur?
• Menurut pendapat yang dibenarkan oleh ulama’ pada umumnya, didasarkan pada alasan udzur jika seorang wanita suci dari haid atau nifas pada waktu Ashar, wajiblah dia mengerjakan shalat Dluhur dan Ashar, karena dalam satu saat. Sebagaimana orang sakit dan musafir, dia berhalangan disebabkan terlambatnya masa suci. Begitu juga bila dia suci pada waktu Isya’, wajiblah dia mengerjakan shalat Maghrib dan Isya’. Berkenaan dengan hal ini, demikianlah yang dinyatakan oleh para sahabat r.a.
12) Apakah hukum mengerjakan shalat di suatu mesjid yang terdapat kuburan di dalamnya, di halaman atau di arah Kiblatnya?
• Tidaklah sah mengerjakan shalat di sebuah mesjid di mana di dalamnya terdapat kuburan, baik itu di bagian belakang, depan, sisi kanan maupun kiri. Berdasarkan sabda Nabi SAW :


Artinya: “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai mesjid.“
Dan sabda beliau :



Artinya : "Ingatlah bahwa sesungguhnya kaum sebelum kamu menjadikan kuburan para nabi dan kaum shalihin mereka sebagai mesjid. Ingatlah, janganlah sekali-kali kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai mesjid. Aku melarangnya!“
Juga, karena mengerjakan shalat di kuburan termasuk perbuatan syirik. Wajib hukumnya mencegah terjadinya hal itu dengan alasan kedua hadits di atas.
13) Banyak sekali para pekerja/buruh menunda shalat Dluhur dan Ashar hingga malam dengan alasan sibuk bekerja atau karena pakaian mereka najis dan kotor.
• Dilarang kaum muslimin laki-laki dan perempuan menunda shalat fardlu dari waktunya, melainkan wajib melaksanakannya tepat waktu sesuai kemampuan. Sibuk bekerja bukanlah alasan untuk menunda shalat, begitupun pakaian kotor atau najis.
Hendaklah waktu-waktu shalat dipisahkan dari pekerjaan, sehingga menjelang waktu shalat para pekerja dapat mencuci pakaian yang kotor atau mengganti yang najis dengan yang suci. Alasan kotor tidak menjadi halangan untuk shalat asal kotornya bukan oleh barang-barang najis atau sesuatu yang menimbulkan bau tidak enak sehingga akan mengganggu para jemaah. Jika demikian, tentu dia harus mencuci atau berganti pakaian terlebih dahulu, dan dapat shalat berjemaah dengan tenang.
Bagi orang yang berhalangan secara syara’, seperti sakit atau musafir, dapat menjamak shalat Dluhur dengan Ashar pada salah watu waktu dari keduanya, juga Isya’ dan Maghrib. Bahkan dapat pula menjamak shalat karena alasan hujan yang amat menyulitkan.
14) Bagi orang yang mendapatkan barang najis melekat di pakaiannya sesudah dia shalat, haruskah dia mengulangnya?
• Menurut pendapat yang shahih dikalangan ulama’, apabila seseorang menemukan barang najis pada pakaiannya sesudah dia shalat sementara dia tidak menyadarinya maka shalatnya sah. Begitu juga kalau dia mengetahuinya sebelum shalat tetapi kemudian lupa ketika shalat dan baru ingat sesudahnya, maka shalatnya sah. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :


Artinya : “Tuhan kami, janganlah Engkau siksa kami jika kami lupa atau khilaf.“ (QS. Albaqarah : 286)
Sebab, pada suatu hari Nabi SAW pernah shalat sedang di terompahnya terdapat kotoran, dan Jibril memberitahukan hal itu kemudian beliau melepaskan terompahnya dan terus menyelesaikan shalat. Yang demikian merupakan kemudahan yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-hambaNya. Sedangkan orang shalat dan lupa bahwa dia berhadats, menurut ijmak ulama’, hendaknya mengulang shalatnya. Berdasarkan hadits Nabi SAW:


Artinya : “Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, dan shadaqah dari hasil rampasan.“ (HR. Muslim)
Dan sabda beliau :


Artinya : “Tidaklah diterima shalatr seseorang di antara kamu hingga dia berwudlu’.“ (HR. Muttafaq ’Alaih)
15) Pada masa sekarang bvanyak sekali orang-orang meremehkan kewajiban shalat, bahkan tidak sedikit yang meninggalkannya sama sekali. Apakah hukumnya? Apakah kewajiban bagi orang muslim, khususnya sanak kerabat, orang tua, anak, isteri dan lain sebagainya, untuk memperingatkan mereka?
• Sikap meremehkan shalat merupakan perbuatan mungkar yang berat dan termasuk salah satu sifat orang munafik. Firman Allah SWT :



Artinya :“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan mermbalasa tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapaddn manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (QS. Annisa’ : 142)
Mengenai sifat-sifat mereka, Allah SWT :




Artinya :“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena kafir kepada Allah dan rasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka melainkan dengan rasa enggan.“ (QS. Attaubah :54)

Dan sabda Nabi SAW :



Artinya :“Paling beratnya shalat bagi orang-orang munafik ialah shalat Isya’ dan Subuh. Seandainya mereka mengetahui apa yang terdapat pada keduanya, sungguh mereka akan melaksanakannya meskipun dengan merangkak.”
Kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan adalah melaksanakan shalat fardlu menurut waktunya dengancara tuma’ninah; mengerjakannya dengan hati t enang dan khusyu’. Allah SWT berfirman :


Artinya :”Sungguh telah beruntung orang-orang mukmin, yaitu mereka yang khusyu; mengerjakan shalat.” (QS. Almukminun : 201)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW menyuruh seseorang yang buruk shalatnya karena tidak tuma’ninah, untuk mengulang kembali shalatnya. Khusus bagi kaum pria, hendaklahe mengerjakannya dengan berjemaah bersama kaum muslimin lainnya di mesjid. Berdasarkan sabda Nabi SAW :



Artinya :”Barangsiapa mendengar adzan tetapi tidak mendatanginya, maka tidak ada pahala shalat bagi dia kecuali karena udzur.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Daaru Quthny dan Ibnu Hibban, dengan sanad Shahih)
Seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas r.a., “Apakah yang dimaksud dengan udzur?” Jawabnya, “Rasa takut atau sakit.”
Di dalam Kitab Shahih Muslim, diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bahwa pada suatu ketika beliau didatangi oleh seorang laki-laki buta. Katanya, “Ya Rasulullah, aku tidak punya kerabat yang dapat menuntunku ke mesjid. Apakah aku memperoleh keringanan untuk shalat di rumahku?”
Beliau memberi keringanan kepada laki-laki tua itu, seraya bersabda, “Apakah kamu dapat mendengar suara adzan?” “Ya,” jawabnya. Sabda beliau, “Maka, jawablah!”
Dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda, “Aku ingin sekali perintahkan shalat, dan dilaklasanakan; aku suruh seseorang mengimami shalat, diapun melakukannya; kemudian aku akan pergi bersama beberapa orang dengan membawa seikat kayu baker menuju suatu kaum yang tidak melaksanakan shalat, dan membakar rumah mereka.”
Hadits-hadits Shahih di atas menunjukkan bahwa shalat jemaah merupakan hak dan salah satu kewajiban utama bagi kaum lakik-laki. Dan barangsiapa menigglkannya, niscaya akan memperoleh balasan kelak. Kita bersama-sama memohon kepada Allah SAW mudah-mudahan Dia berkenan memberikan kemashlahatan bagi kaum muslimin, dan memberikan mereka petunjuk ke jalan yang diridlaiNya.
Adapun orang yang meninggalkan kewajiban shalat dengan sikap meremehkannya walaupun hanya sekali saja, menurut pendapat yang paling benar dikalangan ulama’ adalah merupakan perbuatan kufur besar, baik laki-laki ataupun perempuan.
Berdasarkan sabda Nabi SAW :


Artinya :”Di antara seseorang dan kekufuran atau kesyirikan adalah perbuatan meninggalkan shalat.”
Dan sabda beliau, “Sumpah yang telah diikrarkan antara kita dan mereka adalah shalat. Maka, barangsiapa meninggalkannya sungguh dia telah kufur.” (HR. Imam Ahmad dan Ahlusunnah yang empat dengan sanad Shahih)
Adapun orang yang mengingkari kewajiban shalat, baik laki-laki ataupun perempuan, menurut ijmak ulama’, adalah kufur besar, kendatipun dia melaksanakannya. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa kita dan seluruh kaum muslimin. Amien.
Setiap kaum muslimin haruslah saling menasehati dan berpegang teguh kepada kebenaran, dan saling membantu dalam melaksanakan kebajikan dan takwa. Untuk itu, hendaklah kita tidak segan-segan memberikan peringatan kepada siapa saja yang melalaikan shalat atau memandang remeh sehingga adakala meninggalkannya, dan memperingatkannya tentang kemurkaan dan siksa dari Allah SWT. Atas ayah-ibunya, sanak kerabat dan handai taulannya, hendaklah senantiasa menasehati dia dan terus membimbingnya hingga menjadi lurus dan Allah SWT berkenan memberikan hidayah.
Itulah kewajiban kita atas orang yang meninggalkan kewajiban shalat, baik laki-laki ataupun perempuan, menasehati dan memperingatkan mereka semampu mungkin akan kemurkaan dan siksa dari Allah SWT kelak. Sebab,m yang demikian merupakan perbuatan saling menolong dalam kebajikan dan amar-makruf nahyi-mungkar sebagaimana diawajibkan oleh Allah SWT kepada hamba-hambaNya, laki-laki dan perempuan. firmanNya :






Artinya :“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Swesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.“ (QS. Attaubah : 71)
Sabda Nabi SAW :


Artinya :“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat pada usia 7 tahun, dan pukullah mreka jika meninggalkannya pada usia 10 tahun, serta pisahkanlah tempat tidurnya !“
Jika anak-anak usia 7 tahun saja diperintahkan supaya mulai shalat dan dipukul jika meninggalkannya pada usia 10 tahun, maka tentu lebih utama lagi bagi orang dewasa untuk mengerjakannya dan memukulnya bila dia lalai, dengan senantiasa memberikan nasehat dan peringatan yang baik.
Disamping pula kewajiban kita untuk senantiasa saling nasehat-menasehati dan bersabar. Firman Allah SWT :



Artinya :”Demi Masa. Sesungguhnya manusia benar-benar telah merugi kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, saling nasehat-menasehatri dalam kebenaran dan nasehat-menasehati dalam kesabaran.” (QS. Al’ashr : 1-3)
Barangsiapa tidak mengerjakan shalat setelah dia menginjak usia dewasa dan tidak mau menerima nasehat, dapatlah dia dihadapkan ke pengadilan agama. Jika dia bertaubat, diampuni. Kalau tidak, boleh dibunuh.
Semoga Allah SWT berkenan senantiasa memberikan kemashlahatan dan bimbingan bagi kaum muslimin semua untuk dapat melaksanakan perintah saling tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan dan takwsa, amar-makruf nahyi-mungkar, saling nasehat-menasehati pada kebenaran dan bersabar.
16) Ketika seseorang tidak sadar karena suatu hal atau pingsan hingga beberapa hari lamanya, wajibkah dia mengqadla’ shalat setelah sadar?
• Jika masanya sedikit, 3 hari misalnya atau kurang dari itu, dia wajib mengqadla’ shalat. Karena, keadaan tidak sadar/pingsan sebagaimana di atas menyerupai keadaan tidur, maka dia tidak mempunyai alasan untuk mengqadla’.
Diriwayatkan oleh beberapa orang sahabat Rasulullah SAW bahwa mereka pernah pingsan selama tidak lebih dari 3 hari, dan mereka mengqadla’ shalat.
Sedangkan, apabila masanya lebih dari itu, maka tidak wajib mengqadla’, berdasarkan sabda Nabi SAW :


Artinya :”Diangkatnya pena atas 3 perkara: orang tidur hingga bangun, dan anak kecil hingga dewasa, serta orang gila hingga sadar.”
Sebab, keadaan tidak sadar dalam masa ini menyerupai gila kare ahilangnya kesadaran. Wallahu waliyyut taufieq.
17) Orang sakit mudah sekali meninggalkan kewajiban shalat dengan alasan “Aku akan mengqadla’ saja bila telah sembuh nanti”. Ada lagi yang lainnya mengatakan, “Bagaimana aku shalat, bersuci dan membersihkan najis saja aku tidak bias …”
Bagaimana menurut Anda ?
• Sakit bukanlah alas an bagi seseorang untuk meninggalkan shalat hanya karena tidak mampu bersuci, selama dia dalam keadaan sadar. Seseorang yang sedang sakit wajib shalat menurut kemampuannya. Jika bias, dia bersuci dengan air. Kalau tidak, dia dapat bertayammum, kemudian shalat. Mengenai najis dan kotoran, dia harus membersihkan dan mensucikannya, dan mengganti pakaiannya yang najis dengan yang suci ketika shalat. Jika tidak mampu membersihkan najis dan mengganti pakaian yang najis, dia tidak wajib melakukannya, namun tetap wajib shalat menurut cara yang dia mampu. Firman Allah SWT :


Artinya :”Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah menurut kemampuanmu!” (QS. Attaghagun : 16)
Sabda Nabi SAW, “Jika aku perintahkan kamu melakukan sesuatu, maka kerjakanlah menurut kemampuanmu!”
Dan sabda beliau kepada Imran bin Hashien r.a. ketika beliau dituturi tentang penyakit yang dideritanya, “Shalatlah kamu dengan berdiri,. Jika tidak bias, lakukanlah sambil duduk,. Jika tidak bisa, kerjakanlah sambil tidur!” (HR. Bukhari dengan sanad Shahih, ditambahkan “Jika tidak bias juga, lakukanlah dengan tengkurap!”)
18) Apakah wajib mengqadla’ shalat orang yang meninggalkannya dengan sengaja, baik sekali atau lebih?
• Menurut pendapat yang paling shahih dikalangan ulama’, dia tidak perlu mengqadla’ shalat. Meninggalkan dengan sengajaaa menyebabkan dia keluar dari Islam sehingga tidak wajib shalat. Sebab, orang kafir tidak perlu mengqadla’ perintah-perintah agama Islam yang ditinggalkan semasa dia kafir. Berdasarkan sabda Nabi SAW, “Di antara seseorang dengan perbuatan kufur dan syirik ialah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah r.a.)
• Dan sabda beliau, “Janji yang telah diikrarkan antara kita dan mereka ialah shalat. Maka, siapa meninggalkannya sungguh dia telah kufur.” (HR. Imam Ahmad dengan sanad Shahih dari Burairah bin Hashieb r.a.)
Juga, karena Nabi SAW tidak pernah memerintahkan kaum kafir yang telah masuk Islam untuk mengqadla’ shalat.. begitu juga yang dilakukan oleh para sahabat, tidak pernah memerintahkan kaum murtad yang meninggalkan ajaran Islam untuk melakukan qadla’.
Tetapi, tidaklah mengapa orang yang meninggalkan shalat dengan disengaja dan tidak mengingkari kewajiban shalat itu melakukan qadla’, sebagai langkah berhati-hati dan menghindari perselisihan pendapat yang menyatakan : “Tidaklah menjadi kafir, asal dia tidak mengingakari kewajiban shalat”, inilah yang diikuti oleh umumnya ulama’. Awallahu waliyyut taufieq.

***
A D Z A N

19) Sebagian orang mengatakan bahwa apabila tidak dikumandanghkan adzan pada awal waktunya maka tidak perlu dilakukan sesudahnya, sebab tujuan adzan adalah sebagai pertanda masuknya awaktu shalat. Bagaimana menurut pendapat anda? Juga, apakah disyariatkan adzan bagi seseorang yang tinggal sendirian di suatu tempat?
• Jika muadzin tidak mengumandangkan adzan pada awal waktunya, maka tidaklah disyariatkan bagi dia untuk adzan sesudahnya, bila di tempat tersebut terdapat banyak muadzin lain yang telah menyerukannya. Sebab, syariat adzan telah dipenuhi oleh mereka. Boleh saja adzan dikumandangkan sesudahnya kalau terlambatnya waktu hanya sedikit saja.
Tetapi, bila di daerah itu tidak terdapat muadzin lain, wajiblah dia adzan walaupun terlambat waktunya. Sebab, adzan dalam konteks hukumnya fardlu kifayah yang jika tidak dilakukan oleh orang lain maka wajib dia yang melakukannya mengingat pada umumnya orang pada menunggu tanda masuknya waktu shalat.
Sedangkan musafir, disyariatkan dia untuk adzan walaupun sendirian. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abi Sa’ied r.a. bahwa pada suatu hari dia berkata kepada seorang laki-laki, “Jika kamu sedang mengembalakan kambing di tengah lembah, serukanlah adzan. Karena sesungguhnya tiada didengar suara muadzin oleh jin, manusia atau sesuatu apapun kecuali menjadi saksi kelak pada hari Kiamat.”

20) Apakah disyariatkan pula adzan dan iqamat bagi kaum perempuan, baik dikala dia tinggal di rumah atau dalam perjalanan, sendirian atau berjemaah?
• Tidak disyariatkan adzan dan iqamat bagi perempuan, baik dikala dia tinggal di rumah atau sedang dalam perjalanan. Hal itu hanya disyariatkan bagi kaum laki-laki saja.

21) Apabila shalat tanpa adzan karena lupa, baik sendirian atau berjemaah, apakah pengaruh syariatnya?
• Jika seseorang atau suatu jemaah shalat tanpa iqamat adalah sah shalatnya, dengan beristighfar kepada Allah SWT atas kelupaannya. Begitupun halnya bila shalat dilakukan tanpa adzan. Sebab, adzan dan iqamat hukumnya fardlu kifayah, dan tidak merupakan essensi pokok dari ibadah shalat. Bagi orang yang meninggalkan adzan dan iqamat cukuplah dengan beristighfar kepada Allah SWT. Karena hukum fardlu kifayah tidak menuntut untuk dikerjakan oleh semua orang, melainkan cukup oleh seseorang di antaranya saja. Halnya adzan dan iqamat ini, apabila telah dikumandangkan secara luas oleh seseorang di sebuah desa, kota atau lembah, tidaklah diwajibkan orang lain di tempat itu mengumandangkan juga.

22) Apakah yang menjadi dalil dari ucapan muadzin pada adzan Subuh Ash-Sholaatu Khairun Minan-Naum? Apakah pendapat anda mengenai ucapan Hayya ‘Alaa Khairil Amal…, adakah dasarnya ?
• Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau menyuruh Bilal dan Abu Mahdzunah r.a. mengucapkan itu pada adzan Subuh. Anas r.a. meriwayatkan dari beliau, “Disunnatkan bagi muadzin mengucapkan Ash-Sholatu Khairun Minan Naum pada adzan Subuh.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Mengenai ucapan sementara orang dikalangan Syiah Hayya ‘Alaa Khairil Amal adalah bid’ah yang tidak berdasarkan hadits-hadits yang Shahih. Marilah kita memohon kepada Allah SWT semoga berkenan menunjuki mereka dan seluruh kaum muslimin untuk senantiasa mampu mengikuti sunnah Nabi SAW dengan keteladanan yang baik. Karena, Wallahi, itulah satu-satunya jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan bagi sekalian umat.

23) Dalam sebuah riwayat disebutkan Nida’ untuk shalat Kusuf (gerhana) ASH-SHOLATU JAMI’AH… cukuplah diucapkan sekali saja atau harus berkali-kali. Jika harus berkali-kali, hingga berapa kali diucapkan?
• Diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau menyuruh sahabat untuk menyerukan Ash-Sholatu Jami’ah dalam shalat Kusuf (gerhana). Disunnatkan bagi yang menyerukan untuk mengulanginya berkali-kali hingga semua orang benar-benar mendengar, dan tidak ditentukan batasannya.

***












SIFAT SHALAT

24) Banyak sekali orang di antara saudara-saudara kita yang amat fanatik mengenai adanya pembatas di depan tempat mana dia shalat, hingga dia mencari sudut di sebuah mesjid bagian mana yang terdapat tiang. Dia mengingkari shalatnya orang yang shalat tanpa pembatas. Tetapi ada juga di antara mereka yang memandang remeh hal itu. Manakah yang benar? Sekiranya tidak ada pembatas, cukupkah garis sebagai gantinya? Dan, adakah dalil yang menguatkan hal itu?
• Shalat di belakang pembatas hukumnya sunnat, bukan wajib. Jika tidak terdapat sesuatu yang bias dijadikan pembatas, maka cukuplah garis. Dasarnya ialah sabda Nabi SAW, “Apabila salah seorang di antara kamu shalat, hendaklah dia shalat dengan pembatas dan mendekat darinya.” (HR. Abu Daud dengan sanad Shahih)
Hadits lainnya menyatakan, “Shalat seorang muslim yang tanpa pembatas di hadapannya dapat terpotrong oleh wanita, himar dan anjing.”
Dan, sabda beliau SAW :



Artinya :”Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka taruhlah sesuatu pada tempat mukanya sujud. Jika tidak ditemukan, tancapkanlah tongkat. Kalau juga tidak ada, buatlah garis, niscaya dia tidak akan terganggu oleh orang yang lalu-lalang di hadapannya.” (HR. Ibnu Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad Hasan. Juga diriwayatkan oleh Al-Hafidh di dalam Kitab Bulughul-Maraam)
Dalam sebuah riwayat, bahwa pada suatu ketika Nabi SAW shalat tanpa membuat pembatas di hadapan beliau, menunjukkan shalat beliau itu bukan fardlu. Dan daripada itu, diperkecualikan shalat di Mesjidil-Haram. Sebab, di sana tidak diperlukan adanya pembatas. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Zubair r.a. bahwa dia shalat di Mesjidil-Haram tanpa membuat aling-aling sementara orang-orang berthawaf di hadapannya. Masih banyak lagi riwayat lainnya mengenai hal di atas, tetapi dengan sanad Dla’ief (lemah).
Juga, karena Mesjidil-Haram merupakan tempat yang pada umumnya waktu selalu ramai yang tidak mungkin dapat menghindari lalu-lalangnya orang di hadapan orang yang sedang shalat. Dengan demikian, maka terhapuslah syariatnya hal itu.
Tidak berbedea juga halnya Mesjid Nabawi di waktu ramai, dan tempat-tempat lain di mana terdapat keramaian, mengingat firman Allah SWT :


Artinya :”Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah menurut kemampuanmu!” (QS. At-Taghabun : 16)
Dan sabda Nabi SAW :


Artinya :”Apabila aku perintahkan kamu sekalian melakukan sesuatu, maka kerjakanlah menurut yang kamu bisa!” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
25) Banyak di antara orang-orang yang meletakkan kedua tangannya di bawah pusar. Ada yang menaruhnya di atas dada dan menyalahkan orang yang meletakkan tangan di bawah pusar. Ada lagi orang yang menaruh tangannya di bawah jenggot. Ada juga yangh melepas kedua tangannya. Manakaha yang benar?
• Sudah ditegaskan oleh sunnah Nabi SAW bahwa yang paling utama bagi orang ketika sedang bersdiri dalam shalat menaruh tangan kanan di atas tangan kiri pada bagian dada, sebelum dan sesudah rukuk. Hal itu disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Wail bin Hajar dan Qabaidlah bin Wahab, dan dalam riwayat Sahal bin Sa’ad As-Sa’idi r.a. mengenai peletakan tangan di bawah pusar, adalah bersumber dari hadits Dla’ief yang diriwayatkan dari Ali r.a. sedangkan peletakan tangan di bawah jenggot, selalu menjadi khilaf.
26) Tidak sedikit di antara kaum muslimin orang yang fanatic terhadap duduk Istirahah dan menyalahkan orang yang meninggalkannya. Apakah hukumnya? Apakah yang demikian disyariatkan bagi imam dan makmum, sebagaimana disyariatkan bagi orang yang shalat sendirian?
• Duduk istirahah disunnatkan bagi imam dan makmum, juga bagi orang yang shalat sendirian. Yaitu duduk ringan di antara dua sujud. Dalilnya adalah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Malik bin Huwairits r.a. dari Abu Hamid As-Saidi dari beberapa orang dikalangan sahabat. Sekalipun ada orang yang tidak mengerjakannya, tidaklah masalah.
27) Bagaimana seorang muslim shalat di dalam sebuah pesawat terbang? Apakah disunnatkan bagi dia shalat pada awal waktunya, atau menunggu sesampainya dia di bandara pada akhir waktu?
• Bagi seorang muslim yang tengah menumpang pesawat terbang supaya menunaikan kewajiban shalat menurut kemampuannya. Jika bisa, mengerjakannya dengan berdiri. Kalau tidak bisa, mengerjakannya dengan duduk. Tetapi, sekiranya dia mendapatkan tempat di mana dia dapat berdiri dan sujud di tanah, maka wajiblah dia mengerjakannya dengan cara demikian. Berdasarkan firmanNya :


Artinya :”Bertakwalah kamu sekalian keapda Allah menurut kemampuanmu!”
Sabda Nabi SAW kepada Imran bin Hashien r.a. ketika dia tengah sakit :


Artinya :”Shalatlah kamu dengan berdiri. Jika tidak bisa, kerjakanlah dengan duduk. Kalau juga tidak bisa, maka shalatlah sambil tidur.” (HR. Bukhari dan Annsa’ie dengan sanad Shahih. Ditembahkan, “Jika tidak bisa, maka kerjakanlah dengan telengkup“).
Waktu yang paling utama adalah mengerjakannya pada awal waktu. Tetapi, kalau memang harus menunda awaktu karena alasan akan mengerjakannya di tanah sesampainya kemudian, tidaklah mengapa. Begitu pula halnya shalat di dalam mobil, kereta api ataupun kapal layar, dan lain-lain.
28) Seringkali kita jumpai orang yang banyak bergerak dalam shalat. Apakah dalam konteks ini terdapat batasan tertentu batalnya shalat karena banyak bergerak? Benarkah 3 kali gerak berturut-turut dapat membatalkan shalat? Apakah nasehat anda bagi orang yang suka banyak gerak dalam shalat?
• Dalam shalat, diwajibkan seorang mukmin laki-laki dan perempuan untuk mengerjakananya dengan tuma’ninah dan tidak banyuak bergerak. Sebab, hal ini merupakan salah satu rukun shalat, sebagaimana ditegaskan dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim bahwa Nabi SAW menyuruh seseorang yang tidak bertuma’ninah mengulang kembali shalatnya, disamping disyariatkan mengerjakannya tepat waktu dengan hati khusyu’ dan tenang kartena tengah menghadap Allah SWT. FirmanNya :


Artinya :“Sungguh amat beruntung orang-orang mukmin, yaitu mereka yang khusyu’ dalam mengerjakan shalat.“
Dilarang dia memilir jenggot atau kain bajunya dan lain-lain. Sebab bila dilakukannya hingga berkali-kali dapat membatalkan shalat, kendatipun tidak ada batas tertentu berapa kali gerakan yang dapat membatalkan shalat. Dan sementara orang yang menyebutkan bahwa 3 kali gerakan adalah dlo’ief (lemah) dan tidak memiliki dalil yang kuat. Melainkan yang dijadikan pedoman adalah ketika orang yang sedang shalat fardlu merasa telah banyak bergerakl, hendaklah dia mengulang shalatnya, kemudian bertaubat kepada Allah sambil sering-sering mengingatkan kaum muslimin lainnya untuk khusyu’ dan tidak main-main dalam shalat mengingat keagungan shalat sebagai tonggak agama dan keutamaannya sebagai rukun Islam yang ke-2 setelah Dua Kalimat Syahadat. Lagipula shalat merupakan perbuatan manusia yang pertama kali dihisab kelak pada Hari Kiamat. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan kemampuan keapda segenap umat Islam untuk menunaikannya sesuai cara yang diridlaiNya.
29) Mana lebih diutamakan meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan ketika hendak sujud, ataukah sebaliknya? Dan, di manakah letak kesepakatan dua hadits mengenai hal itu ?
• Menurut kesepakatan Jumhur Ulama’ adalah lebih utama ketika hendak sujud meletakkan kedua belah lutut terlebih dahulu sebelum kedua tangan, jika, bisa. Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Wail bin Hujri r.a. dan hadits0hadits lain dengan topik senada.
Berkenaan dengan permasalahan di atas, pada hakikatnya tidaklah bertentangan dengan hadits Abu Hurairah r.a. di mana Nabi SAW melarang seseorang sujud dalam shalat seperti cara duduknya seekor unta. Sebagaimana diketahui bersama bahwa sujud dengan cara mendahulukan kedua belah tangan adalah seperti duduknya unta.
Dan, sabda Nabi SAW pada akhir riwayatnya ... “Meletakkan kedua tangan sebelum lutut”, menurut pendapat yang paling masyhur merupakan kekeliruan dalam beberapa riwayat. Sedangkan yang paling benar adalah “… meletakkan kedua lutut sebelum tangan”.
Di sinilah pertemuan beberapa riwayat menggugurkan pertentangan, riwayat yang kedua menyepakati riwayat yang pertama. Sebagaimana hal serupa diperingatkan oleh Ibnu Qayyim di dalam kitabnya Zaadul-Ma’aad.
Mengenai orang yang lemah hingga tidak mampu mendahulukan lututnya sebelum tangan karena sakit atau tua, tidaklah bermasalah, berdasarkan firman Allah SWT :


Artinya :”Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah menurut kemampuanmu!” (QS. At-Taghabun : 16)
Dan sabda Nabi SAW :


Artinya :”Apa-apa yang aku larang kamu kerjakan maka jauhilah, dan yang aku perintahkan supaya dikerjakan maka laksanakanlah menurut kemampuanmu!” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
30) Batal atau sahkah seseorang yang shalat sambil berdehem atau menangis sesenggukan?
• Berdehem atau menangis dalam shalat tidaklah membatalkan shalat. Tidak mengapa dia menangis karena mendoakan suatu hajad. Tapi, dilarang dia melakukannya tanpa suatu keperluan. Sebab, Nabi SAW sendiri pernah berdehem kepada Ali ketika meminta izin kepada beliau sementara beliau sedang shalat.
Menangis memanglah disyariatkan dalam shalat dan lainnya jika bersumber dari perasaan khusyu’ menghadap Allah SWT. Hal ini dikuatkan oleh banyak riwayat bahwa Nabi SAW menangis dalam shalat, begitu juga Abu Bakar Ash-Shiddieq r.a., Umar Al=Faruq r.a. dan para sahabat yang lain beserta tabi’in.
31) Apakah hukumnya berjalan melintas di depan orang yang sedang mengerjakan shalat? Dan, apakah yang dimaksud dengan shalat yang terputus?
• Dilarang melintas di hadapan orang yang sedang shalat, dan di antara dia dengan pembatas sujud. Berdasarkan sabda Nabi SAW :


Artinya :”Sekiranya orang yang melintas di hadapan orang yang sedang shalat mengetahui apa yang akan terjadi niscaya akan terhenti empat puluh kebaikan dirinya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Yakni, bahwa shalatnya seseorang akan terputus atau tidak sah bila dia dilintasi oleh seorang wanita baligh, himar atau anjing hitam. Sedangkan yang selain dari ketiga hal di atas tidaklah memutus shalat, namun mengurangi pahalanya. Berdasarkan sabda Nabi SAW :


Artinya :”Akan terputus shalat seorang muslim jika dia tidak membuat aling-aling di hadapannya karena 3 hal: wanita, hjimar dan anjing hitam.” (HR. Imam Muslim dari riwayat Abu Dzar r.a.)
Kecuali di Mesjidil-Haram, tidaklah terlarang melintas di hadapan orang yang sedang shalat, dan tidak juga sebab ke3 hal tersebut. Karena begitu padatnya orang sehingga tidak memungkinkan untuk menghindar dari hadapan oprang yang sedang shalat. Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain mengenai hal yang sama dari Ibnu Zubair dan lain-lain, membolehkan. Sebagaimana diperbolehkan juga di Mesjid Nabawi dan mesjid lainnya di mana tidak dapat menghindar dari hadapajn orang yang sedang shalat karena padatnya jemaah.
Firman Allah SWT :


Artinya :”Bertakwalah kamu sekalian keapda Allah menurut kemampuanmu!” (Qs. At-Taghabun : 16)


Artinya :”Allah tidaklah membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah : 282)


Dan, sabda Nabi SAW :


Artinya :”Apa-apa yang aku larang kamu kerjakan maka jauhilah, dan yang aku perintahkan supaya dikerjakan maka laksanakanlah menurut kemampuanmu!” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
32) Apakah pendapat anda mengenai orang yang mengangkat tangan ketika berdoa sehabis shalat? Apakah ada bedanya pada waktu berdoa sehabis shalat fardlu atau sunnat?
• Mengangkat kedua belah tangan ketika berdoa adalah sunnat karena termasuk satu sebab dikabulkannya doa, berdasarkan sabda Nabi SAW :
Artinya :”Sesungguhnya Tuhan kamu sekalian adalah Maha Hidup lagi Mulia, akan malu terhadap hamba yang mengangkat kedua belah tangan kepadaNya, menolaknya dengan tangan hampa.” (HR. Abu Daud, At-Turmedzi dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al-Hakim dari riwayat Salman Al-Farisy r.a.)
Dan sabda beliau :



Artinya :”Sesungguhnya Allah SWT Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kaum mukminin melaksanakan apa yang juga diperintahkan kepada para rasul.”
Kemudian beliau menyebutkan firman Allah SWT :



Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara riski yang baik-baik yang Kami anugerahkan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar hanya kepadaNya kamu sekalian menyembah!” (QS. Al-Baqarah : 172)


Artinya :”Hai para rasul, makanlah dari makanana yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mukminun : 51)
Beliau berkisah tentang seorang laki-laki perantau, tubuhnya tampak kumuh dan lusuh, menengadahkan kedua belah tangannya ke langit seraya berkata, “Ya Robbi…, ya Robbi…”, tetapi makanan, minuman dan pakaiannya haram, dan memperolehnyapun dengan cara yang haram, bagaimana dapat dikabulkan doanya? (HR. Muslim)
Akan tetapi, tidak disyariatkan berdoa dengan mengangkat kedua tangan ketika shalat fardlu; di antara dua sujud, sebelum salam, ketika khutbah Jum’at dan ‘Iedain, karena Nabi SAW tidak pernah melakukannya demikian, sementara beliau bagi kita adalah sebagai suri tauladan yang baik. Sedangkan dalam shalat nafilah, saya tidak mengetahui sesuatu yang melarang untuk mengangkat kedua tangan ketika berdoa sesudahnya, karena cukup banyaknya dalil yang dijadikan alas an. Tetapi, tetap diutamakan supaya tidak melakukannya. Sebab yang demikian tidak benar-benar kuat riawayatnya sebagai sunnah yang dianjurkan oleh Nabi SAW. Sekaliupunb beliau melakukannyasetiap habis mengerjakan shalat nafilah, hal itu adalah adri menukil beliau. Karena memang para sahabat r.a. senantiasa menukil semua pernyataan dan perbuatan beliau, baik ketika beliau dalam perjalanan maupun pada keseharian dan segala keadaan beliau.
Hadits masyhur yang menyebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Shalat adalah ibadah yang dilakukan dalam rangka bertadlarru’, takhasyu’, dan meminta ‘Yaa Robbi… yaa Robbi…!” merupakan hadits dlo’ief, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafidh bin Rajab dan yang lainnya.
33) Kami pernah mendengar kata sementara orang “adalah makruh mengusap dahi dari debu sehabis ahalat”. Apakah yang demikian memiliki dasar?
• Sejauh yang kami ketahui, hal itu tidak ada dasar syariatnya. Namun jelas makruh melakukan yang demikian apda waktu sebelum salam. Sebab, adakalanya Nabi SAW mengerjakan shalat subuh ketika tengah turun hujan, dan beliau tidak mengusap dahi beliau yang terdapat titik-titik air dan tanah. Hal ini menunjukkan bahwa yang lebih diutamakan ialah tidak membasuh kotoran pada dahi sebelum selesai shalat.
34) Apakah hukumnya berjabatan tangan sehabis shalat? Adakah perbedaannya berjabatan tangan sehabis shalat fardlu atau shalat nafilah?
• Pada dasarnya, berjabatan tangan adalah disyariatkan ketika saling bertemu dengan saudara seagama. Sebagaimana Nabi SAW saling berjabatan tangan bila berjumpa dan nketika hendak berpisah dengan mereka.
Anas dan Asy-Sya’bi r.a. berkata, “Sahabat-sahabat Nabi SAW saling berjabatan tangan bila berjumpa dan berpelukan saat hendak berpisah.”
Dalam kitab Shahihain diriwayatkan bahwa Talhah bin Ubaidillah, salah seorang dari sepuluh sahabat yang memperoleh jaminan masuk surga, bangkit dari duduknya di belakang Nabi SAW di dalam mesjid, menghampiri Ka’ab bin Malik r.a. ketika dia baru menyatakan masuk Islam, dan menjabat tangannya. Tradisi ini masyhur sekali pada masa Nabi SAW dan sesudahnya.



Sabda beliau :



Artinya : "tidak ada dua orang muslim yang bertemu kemudian saling menjabat tangan kecuali rontoklah seghala dosa keduanya sebagaimana daun rontok dari pepohonan."
Berjabatan tangan adalah sunnat hukumnya pada saat bertemu di dalam mesjid atau shaf. Sekiranya belum berjabatan tangan sebelum shalat, dapatlah dilakukan sesudahnya. Tidak lain adalah untuk mentradisikan sunnah mulia ini. Karena teramat dalam hikmahnya, disamping untuk senantiasa memelihara rasa kasih-sayang juga menghilangkan rasa permusuhan.
Berdasarkan syariatnya, jika tidak berjabatan tangan sebelum shalat fardlu hendaklah dilakukan sesudahnya sehabis berdziakir. Adapun sementara orang yang melakukannya langsung sehabis salam kedua shalat fardlu, saya sendiri tidak mengetahui apa gerangan yang menjadi dasarnya. Yang jelas, karena tidak adanya dalil, adalah makruh melakukan yang demikian. Sebab, seseorang yang shalat dianjurkan supaya langsung berdzikir sebagaimana dilakukan oleh Nabi SAW pada setiap habis mengerjakan shalat fardlu.
Kecuali pada shalat-shalat nafilah, disyariatkan dapat langsung berjabatan tangan sehabis shalat bagi yang belum melakukannya sebelum itu. Jika sudah, maka sekali sudah cukup.
35) Apakah memang disunnatkan bergeser tempat untuk shalat sunnat sehabis shalat fardlu ?
• Sepengetahuan saya tidak terdapat satu hadits Shahih mengenai hal itu. Namun, Ibnu Umar r.a. dan banyak sekali orang dikalangan ulama’ dahulu mengerjakan demikian. Sementara pembahasan persoalan ini amatlah luas, terdapat hadits dlo’ief yang membenarkan apa yang dikerjakan oleh Ibnu Umar r.a. dan ulama’-ulama’ salaf itu
36) Dalam satu riwayat dianjurkan untuk membaca LAA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHUU LAA SYARIEKA LAHU WA LAHUL-HAMDU ‘ALAA KULLI SYAI-IN QADIER… 10 kali setiap habis mengerjakan shalat Subuh dan Maghrib. Benarkah demikian?
• Banyak sekali hadits Shahih yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang kesemuanya menunjukkan disyariatkannya dzikir tersebut setiap habis shalat Subuh dan Maghrib.
Yakni :



LAA ILAAHA ILLALLAHU WAHDAHUU LAA SYARIEKA LAHU, LAHUL-MULKU WA LAHUL-HAMDU YUHYIE WA YUMIETU WA HUWA ‚ALAA KULLI SYAI-IN QADIER... 10 kali.
Hendaklah diingat bacaan di atas untuk senantiasa diamalkan oleh segenap kaum muslimin dan muslimat pada setiap habis mengerjakan shalat Subuh dan Maghrib setelah dzikir-dzikir rutin shalat fardlu yang lima. Yakni, sesudah salam mengucapkan:












Jika menjadi imam, dianjurkan supaya menghadap makmum mulai saat membaca ASTAGHFIRULLAH...(3 kali) pertama tadi. Dan sehabis shalat, imam menoleh ke kanan atau ke kiri menghadap makmum sebagaimana dilakukan oleh Nabi SAW dahulu.
Disamping itu pula disunnatkan bagi orang yang baru selesai mengerjakan shalat fardlu, setelah dzikir di atas, untuk membaca : SUBHAANALLAAH WAL HAMDU LILLAAHI WAL-LAAHU AKBAR...33 kali. Ada juga yang membacanya sebanyak 99 kali, dan yang ke-100 kalinya membaca : LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAHUU LAA SYARIEKA LAHUU, LAHUL-MULKU WA LAHUL-HAMDU WA HUWA 'ALAA KULLI SYAI-IN QADIER.
Karena dziakir ini sangat dianjurkan oleh Nabi SAW sebagai salah satu penyebab maghfirah. Setelah itu membaca Ayat Kursi, Al-Ikhash, Al-Falaq dan An-Naas, lebih-lebih kalau ke3 surat ini dibaca secara berulang-ulang sehabis shalat Maghrib, Subuh, dan menjelang tidur. Demikian diriwayatkan dalam banyak hadits Shahih.


***



SHALAT JEMAAH

37) Terlalu banyak untuk disebutkan di antara mat Islam yang enggan shalat berjemaah, bahkan di antaranya adalah orang-orang yang berpengertian, dengan alasan bahwa tidak semua ulama’ menganggapnya wajib. Bagaimana anda meluruskan pandangan mereka?
• Tidak syak lagi, menurut pendapat yang paling kuat dikalangan ulama’ bahwa shalat berjemaah di mesjid hukumnya adalah wajib atas segenap kaum laki-laki yang mampu dan mendengar adzan. Nabi SAW bersabda :


Artinya :“Barangsiapa mendengar adzan tetapi tidak mendatanginya, maka tidaklaha da shalat bagi dia kecuali karena berhalangan.“ (HR. Ibnu Majah dan Daaru Quthny, dan oleh Ibnu Hibban dan Hakim dengan sanad Shahih)
Pernah suatu kali Ibnu Abbas r.a. ditanya tentang halangan untuik shalat berjemaah. Jawabnya,“...ialah karena takut atau sakit.“
Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan dari riwayat Abu Hurairah r.a. bahwa pada suatu ketika seorang buta datang berkunjung ke kediaman nabi SAW. Katanya, “Ya Rasulullah, aku tidak mempunyai ekrabat yang dapat membantuku ke mesjid. Dapatkah aku memperoleh keringanan untuk shalat di rumah?“
Jawab beliau, sembari bertanya, "Dapatkah kau mendengar adzan?“ "Ya,“ jawabnya. "Kalau begitu, jawablah!“ sabda beliau.
Di dalam Kitab Shahihain disebutkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW bersabda, "Rasanya aku ingin sekali memerintahkan shalat, dan dikerjakan. Lalu aku suruh seseorang menjadi imam, dan dilaksanakan. Maka aku akan pergi bersama beberapa orang dengan membawa seikat kayu bakar menuju perkampungan suatu kaum yang tidak mengerjakan shalat, dan aku akan bakar tempat tinggal mereka.“
Hadits-hadits di atas dan pengertian yang terkandung di dalamnya semua menunjukkan wajibnya hukum shalat berjemaah di mesjid bagi kaum laki-laki. Dan, bahwa bagi orang yang meninggalkannya dapatlah dikenai hukuman. Sebab, seandainya shalat berjemaah tidaklah wajib hukumnya, tentu siapapun yang meninggalkannya tidak berhak dihukum. Lagipula, karena shalat berjemaah di mesjid merupakan satu dari serangkaian syiar Islam yang sangat mulia, disamping dapat menjadi perantara untuk saling mengenal antar sesama jemaah dan terjalinnya rasa kasih-sayang, serta melenyapkan rasa permusuhan. Sehingga meninggalkan syariat ini me njadi salah satu tanda orang munafik.
Maka, hendaklah kita menjauhi sikap buruk itu, dan tidak mengambil sedikitpun buah dari perselisihan pendapat mengenai hal tersebut. Karena setiap pendapat yang diutarakan adalah bertentangan adanya dengan dalil-dalil syara’, maka buanglah dan jangan dibiarkan, berdasarkan firman Allah SWT :





Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul(Nya), dan ulil-amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alqur’an) dan rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.“ (QS. An-Nisa’ : 59)



Artinya : "Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. kepadaNyalah aku bertawakkal dan kepadaNyalah aku kembali.“ (QS. Asy-Syuraa : 10)
Di dalam Kitab Shahih Muslim disebutkan sebuah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud r.a. Katanya, "Kita selalu mengerjakan shalat berjemaah dengan penuh gairah, dan tidak ada yang meninggalkannya kecuali dia adalah orang munafik atau karena sakit. Bahkan yang sakit di antara kami dipapah oleh dua orang hingga dapat berdiri dalam shaf.“
Riwayat ini menunjukkan betapa bergairahnya para sahabat melaksanakan shalat jemaah, dan begitu mentradisinya kewajiban ini dipelihara oleh mereka. Sampai orang yang sedang sakitpun datang ke mesjid dengan dipapah oleh dua orang dan berdiri di tengah shaf. Semoga Allah meridloi mereka semua. Wallahu waliyyuttaufieq.
38) Terdapat pertentangan pendapat dikalangan ulama’ mengenai bacaan surat Al-Fatihah bagi makmum dalam shalat jemaah. Manakah yang benar, apakah membaca Surat Al-Fatihah wajib hukumnya bagi makmum? Jikia imam tidak melakukan SAKTAH (berhenti sejenak sehabis membaca suarat Al-Fatihah), kapankah makmum beroleh kesempatan membacanya?
• Pendapat yang benar adalah bahwa membaca suarat Al-Fatihah bagi makmum wajib hukumnya, baik ketika shalat sirriyah maupun jahriyah, atas dasar sabda Nabi SAW :



Artinya : "Tidaklah sah shalat seseorang tanpa membaca Al-Fatihah.“ (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Dan, dalam sebuah riawayat lain, di hadapan para sahabat beliau bersabda, “Apakah kalian membaca sesuatu di belakang imam?” Jawab mereka, “Benar.” SAbda beliau, “Janganlah kalian lakukan kecuali dengan Al-FAtihah. Karena sesungguhnya tidaklah sah shalat seseorang tanpa membaca Al-FAtihah.” (HR. Imam Ahmad dengan sanad Shahih)
Sebagaimana yang disyariatkan, adalah supaya makmum membaca AL-Fatihah pada saat SAKTAH-nya imam. Dan sekiranya imam tidak melakukan SAKTAH, dia dapat membacanya meskipun imam sedang meneruskan bacaan, lalu diamlah.
Hal ini merupakan perkecualian dari beberapa dalil yang menunjukkan wajibnya makmum DIAM mendengarkan bacaan imam. Tetapi, kalaulah karena makmum lupa, sebab tidak tahu maupun karena meyakininya bukan wajib, tidaklah masalah, dan dia akan memperoleh pahala dari bacaan imam. Demikianlah menurut pendapat Jumhur Ulama’. Begitu juga jika makmum datang ketika imam sedang ruku’ , hendaklah dia langsung ruku’ pula dan tidak perlu membaca Al-Fatihah karena masbuq.
Abu Bakar Ats-Tsaqafi r.a. meriwayatkan bahwa dia dating terlambat bermakmum kepada Nabi SAW ketika beliau sedang ruku’. Dia lantas ruku’ pula di luar shaf, baru kemudian masuk ke dalam shaf. Selesai salam, Nabi SAW bersabda, “Semoga Allah senantiasa memeliharamu, jangan diulangi!” Beliau menyuruh dia melengkapi satu rakaat pertama tadi. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari)
Yang dimaksud oleh beliau pada sabda : “Jangan diulangi!” adalah mengulangi cara ruku’ yang dilakukan di luar shaf. Yakni, disyariatkan bagi orang yang memasuki mesjid sementara imam sedang ruku’ supaya tidak langsung ruku’ pula sebelum dia sampai pada shaf sekalipun nanti ketinggalan ruku’.
Sabda Nabi SAW, “Jika iqamat telah dikumandangkan maka berangkatlah dengan tenang. Sampai mana yang kamu dapatkan, kerjakanlah! Dan mana yang ketinggalan, sempurnakanlah!” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Adapun hadits yang menyatakan bahwa siapa yang shalat jemaah maka bacaan yang dibaca oleh imam sudah cukup bagi makmum adalah hadits dlo’ief dan tidak dapat dijadikan alas an. Dan, sekalipun hadits ini Shahih, tetapi membaca Al-Fatihah adalah merupakan perkecualian.
Mengenai SAKTAH sesudah membaca Al-Fatihah, sepengetahuan saya tidak terdapat dasar hadits yang Shahih, dan pembahasan persoalan ini sangat luas. Maka siapapun boleh saja melakukannya tetapi dapat juga meninggalkannya. Sebab, sepengetahuan saya, Nabi SAW tidak melakukannya kecuali 2 Saktah. Saktah yang pertama sesudah Takbiratul-Ihram ketika membaca doa Iftitah. Dan yang kedua sesudah selesai membaca surat sebelum ruku’, yakni ruku’ ringan untuk memisahkan jarak antara bacaan dan takbir.
39) Terdapat sebuah hadits yang melarang untuk mendekati mesjid bagi orang yang membawa bawang putih, bawang merah dan bawang bakung? Apakah termasuk juga demikian barang-barang yang menimbulkan bau tidak sedap, dilarang sebagaimana merokok? Dan, apakah karena alasan mengkonsumsi barang-barang tersebut dia diperbolehkan tidak shalat berjemaah tanpa dosa?
• Diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda :


Artinya, “Barangsiapa makan bawang merah atau bawang putih maupun bawang bakung, sekali-kali tidak diperkenankan mendekati mesjid kita, dan hendaklah dia shalat di rumahnya saja!”
Dalam hadits lainnya :


Artinya : “Sesungguhnya malaikat juga merasa terganggu oleh bau-bauan yang dapa mengganggu manusia.”
Termasuk semua barang yang menimbulkan bau tidak sedap hukumnya sama saja sebagaimana bawang merah dan bawang putih. Seperti perokok dan bau-bauan jenis lain yang dapat mengganggu orang di sampingnya. Sesungguhnya tidak diperkenankan dia shalat berjemaah sampai dia pergunakan wangi-wangian yang dapat menghilangkannya. WAJIB bagi dia melakukan itu semampu mungkin hingga dapat menunaikan segala kewajiban yang diperintahkan oleh Allah, seperti shalat berjemaah ini.
Adapun merokok addalah haram mutlak dana wajib dihindari di segala waktu karena teramat banyaknya mudlarat yang berpengaruh pada aspek keagamaan, badan dan harta benda. Semoga Allah SWT senantiasa memelihara kemashlahatan kaum muslimin dan menuntun mereka kepada jalan kebajikan.
40) Apakah shaf diisi mulai dari sebelah kanan atau belakang imam? Apakah disyariatkan keseimbangan shaf antara yang berada di sebelah kanan dan kiri imam sebagaimana sellau diserukan oleh imam kepada makmum supaya berimbang?
• Shaf hendaklah dimulai dari bagian tengah tepatnya di belakang imam, dan orang yang berada di shaf paling kanan lebih diutamakan daripada yang berada di sebelah kirinya. Diwajibkan supaya tidak mengisi shaf sebelum terisi shaf yang sebelumnya. Boleh saja makmum mengisi shaf di sebelah kanan lebioh banyak dari yang sebelah kiri, dan tidak perlu berimbang. Namun demikian masa saja ada ikhtilaf-sunnah mengenai persoalan ini. Tetapi tidak diperkenankan membuat shaf kedua sebelum lengkap shaf pertama. Tidak juga diperbolehkan membuat shaf ketiga sebelum sempurna shaf yang kedua. Dan seterusnya, hingga shaf yang paling akhir. Demikianlah yang diajarkan oleh RAsulullah SAW.
41) Bagaimana hukum shalat fardlu bermakmum kepada orang yang shalat sunanat?
• Boleh saja mengerjakan shalat fardlu dengan bermakmum kepada orang yang sedang shalat sunnat. Nabi SAW sendiri sering melakukan shalat Khauf (takut) dua rakaat dengan bermakmum kepada suatu jemaah lalu salam. Di lain waktu beliau shalat dua rakaat berjemaah lalu salam. Shalat beliau yang pertama tadi adalah bermakmum keapda imam shalat fardlu, dan yang kedua sunnat, sementara para makmum mengerjakan shalat fardlu.
Di dalam kitab Shahihain diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal r.a. bahwa pada suatu ketika dia shalat Isya’ bersama Nabi SAW, kemudian dia pulang menemui kaumnya dan kembali shalat Isya’ bersama mereka. Shalat itu bagi mereka merupakan fardlu dan bagi Mu’adz sebagai nafilah. Serupa halnya di bulan Ramadlan mereka shalat Tarawih sementara salah seorang di antaranya belum shalat Isya’. Hendaklah dikerjakan terlebih dahulu shalat Isya’ bersdama mereka demi memperoleh pahala shalat jemaah. Begitu imam salam, dia bangkit menyempurnakan rakaat shalatnya.
42) Apakah hukum shalat sendirian di belakang shaf? Seandainya seseorang datang hendakl memasuki shaf tetapi tidak menemukan celah, apakah yang harus dia lakukan? Jika dia hanya mendapatkan seorang anak kecil yang belum baligh, bisakah bershaf bersamanya?
• Shalat sendirian di belakang shaf adalah batal, berdasarkan sabda Nabi SAW :


Artinya : “Batal shalat seseorang yang shalat sendirian di belakang shaf.”
Dan, diriwayatkan bahwa beliau menyuruh seorang sahabat yang shalat sendirian di belakang shaf agar mengulang shalatnya, dan beliau tidak menanyainya apakah menemukan celah atau tidak.
Semua ini menunjukjkan tidak adanya perbedaan antara dia menemukan celah pada shaf atau tidak.
Akan tetapi, apabila seseorang masbuq datang sementara imam dalam keadaan ruku’ dan dia lantas ruku’ pula di luar shaf, baru kemudian masuk shaf sebelum sujud, adalah boleh saja. Hal ini didasari oleh suatu riwayat di dalam Kitab Shahih Bukhari dari Abu Bakar Ats-Tsaqafi r.a. bahwa dia pergi shalat ke mesjid sementara Nabi SAW dalam keadaan ruku’. Maka, dia lalu ruku’ pula di luar shaf dan baru kemudian masuk shaf. Sehabis alam, beliau bersabda, “Semoga Allah senantiasa memeliharamu, dan jangan diulangi!”
Apabila makmum dating ketika imam telah memulai shalat sementara dia tidak mendapatkan celah untuk masuk shaf, hendaklah dia menunggu walaupun seorang anak kecil yang baru berusia 7 tahun atau lebih, atau mencari tempat di sebelah kanan imam.
43) Apakah disyariatkan “niat imam” bagi imam? Bolehkah seseorang yang datang terlambat bermakmum kepada orang lain yang sedang shalat sendirian? Benarkah disyariatkan bagi makmum yang masbuq supaya menyempurnakan rakaat?
• Benar, disyariatkan “niat imam” bagi imam, berdasarkan sabda Rasulullah SAW :


Artinya : “Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu dengan niat, dan setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya.”
Apabila ada orang tiba di mesjid ketika jemaah telah selesai shalat kecuali seseorang lain yang sedang shalat sendirian, diperbolehkan dia bermakmum kepadanya. Bahkan, demikianlah yang diutamakan, dengan dalil bahwa Nabi SAW melihat seorang laki-laki baru tiba di nmesjid hendak shalat tetapi para sahabat sudah selesai, maka beliau bersabda :


Artinya : “Adakah di antara kalian orang yang mau bershadaqah keapda laki-laki ini dengan shalat lagi bersamanya?”
Dengan cara itu keduanya sama-sama memperoleh keutamaan shalat berjemaah, dan menjadi pahala tambahan bagi yang sudah shalat. Sebagaimana Mu’adz bin jabal r.a. shalat Isya’ bersama Nabi SAW, kemudian pulang dan mengerjakan lagi shalat yang sama bersama kaumnya. Maka, Mu’adz r.a. memperoleh pahala tambahan (nafilah) dari shalat yang dikerjakannya, sementara bagi mereka pahala dari kewajiban fardlu.
Dan, orang yang ketinggalan shalat diperbolehkan bermakmum kepada jemaah yang masbuq, demi memperoleh keutamaan shalat berjemaah, maka, ketika yang masbuq menyelesaikan shalat, orang itu bangkit menyempurnakan rakaatnya. Hal ini berlaku untuk semua shalat fardlu yang lima, berdasarkan sabda Nabi SAW kepada Abu Dzar r.a. ketika beliau mendengar berita tentang beberapa orang Amier yang suka menunda-nunda waktu shalat :




Artinya : “Laksanakanlah shalat pada waktunya. Jika kamu mendapatkan waktu itu bersama mereka, maka shalatlah bersama mereka. Sesungguhnya shalatmu menjadi nafilah bagimu. Dan janganlah kamu mengatakan, ‘Aku sudah shalat, maka aku tidak perlu shalat lagi’.”
44) Apakah rakaat yang dilaksanakan oleh makmum masbuq dianggap sebagai rakaat awal atau akhir? Jika, misalnya, dia ketinggalan 2 rakaat dari shalat Ruba’iyah (Dluhur, Ashar, Isya’) apakah disyariatkan supaya dia membaca surat-surat atau ayat-ayat pendek setelah Fatihah?
• Yang benar, bahwa rakaat yang dilaksanakan oleh makmum masbuq dianggap sebagai bagian awal dari shalat dan kekurangannya sebagai akhirnya. Nabi SAW bersabda :


Artinya : “Apabila iqamat telah dikumandangkan maka berangkatlah kalian dengan tenang. Sampai mana rakaat yang kamu dapatkan, maka kerjakanlah! Dan mana yang ketinggalan, sempurnakanlah!”
Dia cukup membaca surat Al-Fatihah pada rakaat yang ke-3 dan ke-4 dari shalat Ruba’iyah, dan rakaat ke-3 dari shalat Maghrib. Demikianlah menurut riwayat dari Abu Qutadah r.a. bahwa saat mengerjakan shalat Dluhur dan Ashar pada 2 rakaat pertama Nabi SAW membaca surat Al-Fatihah dan menyingkat rakaat ke-2, dan pada dua rakaat terakhir beliau cukup membaca surat Al-Fatihah saja.
Namun, baik sekali jika oada suatu saat dia membaca surat sesudah Al-Fatihah pada rakaat ke-3 dan ke-4 dalam shalat Dluhur, sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Muslim dari riwayat Abu Sa’id r.a. bahwa Nabi SAW pada 2 rakaat pertama dari shalat DLuhur membaca surat kira-kira selang waktu surat ALIEF-LAAM-MIEM-TANZIEL… (as-Sajadah), dan pada 2 rakaat berikutnya setengah dari waktu itu; pada 2 rakaat pertama shalat Ashar sepanjang 2 rakaat terakhir shalat Dluhur, dan 2 rakaat shalat Ashar setengah dari waktu 2 rakaat terakhir shalat Dluhur.
45) Tidak jarang beberapa mesjid pada waktu Jumat begitu ramai oleh jemaah bahkan sampai penuh sesak sehingga sebagian terpaksa shalat di jalan-jalan dengan bermakmum kepada satu imam. Bagaimana pandangan anda, apakah ada bedanya atau tidak jika di antara mesjid itu dengan makmum terpisah oleh jalan?
• Tidaklah bermasalah apabila shaf jemaah bersambung. Begitu juga jika jemaah yang berada di luar mesjid melihat jemaah di depan mereka atau mendengar suara takbir imam walaupun mereka terpisah oleh jalan, karena wajibnya hjukum shalat berjemaah. Lagipula masih memungkinkan bagi mereka mendengar atau melihat, asal tidak shalat di depan posisi imam sebab bukan di situlah tempat makmum.
46) Apabila makmum mendapati imam sedang rukuk, apa yang harus dikerjakannya ketika itu? Untuk memperoleh rakaat itu, apakah dia harus membaca SUBHAANA RABBIYAL’ADHIEMI… sebelum imam I’tidal?
• Jika makmum mendapati imam sedang rukuk, maka dia memperoleh rakaat itu meskipun dia tidak sempat membaca Tasbih (subhaana rabbiyal’adhiemi…) dan imam sudah mengangkat tangan, karena umumiyahnya sabda Nabi SAW :


Artinya : “Barangsiapa mendapatkan 1 rakaat dari shalat, maka dia telah memperoleh shalat itu.” (HR. Muslim)
Kita mengetahui bahwa rakaat dapat diperoleh dengan mendapatkan rukuk, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Bakar Ats-Tsaqafi r.a. bahwa pada suatu hari dia memasukji mesjid ketika Nabi SAW sedang rukuk. Dia lalu rukuk di luar shaf, baru kemudian masuk shaf. Selesai salam, Nabi SAW bersabda, “Semoga Allah senantiasa memeliharamu, dan jangan diulangi!” dan beliau tidak menyuruhnya mengqadla’ reakaat, kecuali melarangnya supaya jangan rukuk di luar shaf. Jadi, bagi makmum masbuq hendaklah jangan terburu rukuk di luar shaf.
47) Sebagian imam menunggu barangkali masih da makmum yang agak akhir masuk shaf untuk mendapatkan rakaat, dan di antara mereka mengatakan bahwa imam tidak disyariatkan untuk menunggu?
• Yang benar, bahwa imam disyariatkan menunggu sejenak supaya makmum mendapat kesempatan masuk shaf sebagaimana biasa dilakukan oleh Nabi SAW.
48) Jika seseorang mengimami 2 orang anak kecil atau lebih, apakah mereka harus mengambil posisi tepat di belakang atau di sebelah kanannya? Apakah usia baligh menjadi syarat bagi anak kecil untuk dapat masuk shaf?
• Menurut cara yang disyariatkan, jika sudah mencapai usia 7 tahun atau lebih supaya mereka mengambil shaf di belakangnya sama sebagaimana 2 orang mukallaf. Sama halnya jika mereka adalah seorang anak kecil dan seorang mukallaf, shafnya tepat di belakang imam. Larena, pada saat Nabi SAW mengunjungi kakek Anas r.a. beliau shalat bersamanya dan seorang anak kecil yatim, dan beliau menempatkan keduanya tepat di belakang beliayu. Demikian pula ketika 2 orang Anshar Jabir dan Jabbar shalat bersama beliau, keduanya mengambil shaf tepat di belakang beliau.
Kalau makmum cuma 1 orang, baik dia laki-laki dewasa atau anak kecil, posisinya di sebelah kanan imam. Karena, ketika Ibnu Abbas r.a. bermakmum shalat malam dia di sebelah kiri Nabi SAW, beliau menggesernya ke sebelah kanan. Sebagaimana juga beberapa kali dialami Anas r.a. pada shalat sunnat, beliau menempatkannya di sebelah kanan.
Sedangkan seorang perempuan atau lebih posisinya tepat di belakang makmum laki-laki. Dilarang dia satu shaf dengan laki-laki apalagi dengan imam. Sebab, ketika Nabi SAW shalat bersama Anas r.a. dan seorang anak kecil yatim, beliau menempatkan Ummu Sulaim r.a. di shaf belakang keduanya padahal dia adalah ibu Anas r.a.
49) Sementara orang ada yang berkata, “Dilarang membuat jemaah lain di dalam mesjid sesudah jemaah yang pertama menyudahi shalat.” Apakah terdapat dasar hukumnya? Lalu, manakah yang benar?
• Sepengetahuan saya, pernyataan ini sungguh tidak benar dan tidak memiliki dasar syara’ apapun. Melainkan Nabi SAW mengajarkan sebaliknya. Sabda beliau SAW :


Artinya : “Shalat berjemaah lebih utama dari shalat sendirian dengan perbandingan 27 derajat.”
Dan sabda beliau :


Artianya : "Shalatnya seorang laki-laki bersama 1 orang laki-laki adalah lebih utama daripada dia shalat sendirian.“
Dan, ketika Nabi mendapat seorang laki-laki terlambat datang ke mesjid sementar para sahabat baru selesai shalat, beliau bersabda :


Artinya : "Barangkali ada yang mau bershadaqah kepada laki-laki ini dengan shalat lagi bersamanya?“
Yang jelas, tidak diperkenankan seorang muslim terlambat shalat berjemaah, bahkan dia wajib bersegera melaksanakannya.
50) Sekiranya wudlu’ imam batal di tengah berlangsungnya shalat, apakah bisa dilanjutkan oleh orang lain, ataukah batal shalat jemaah itu dan harus diulang dari awal?
• Yang dibenarkan oleh syara’ supaya dia menggantikan keapda orang lain untuk melanjutkan shalat, sebagaimana dilakukan oleh Umar r.a. begitu tertikam ketika sedang shalat. Dia menggantikan kepada Abdurrahman bin Auf r.a. untuk meneruskan shalat Subuh bersama makmum. Jika imam tidak menggantikan kepada orang lain, kiranya ada salah seorang diantara makmum maju dan meneruskan shalat.
Dan, boleh saja kalau mereka berkenan mengulang shalat itu dari awal, karena persoalan ini merupakan ikhtilaf dikalangan ulama’. Namun, yang paling dibenarkan supaya imam menggantikan kepada orang lain untuk meneruskan shalat. Kecuali karena mereka sendiri mau mengulang shalat dari awal. Wallahu waliyyut taufieq...
51) Apakah shalat berjemaah bisa didapat dengan melaksanakan salam bersama imam atau tidak, kecuali dengan melaksanakan 1 rakaat? Jika seorang jemaah datang ketika imam sedang Tasyahud-Akhir, apakah lebih utama bagi mereka untuk langsung mengikuti imam atau menunggu salam dan kemudian mereka shalat dalam jemaah itu?
• Shalat berjemaah tidak bisa diperoleh kecuali dengan melaksanakan rakaat, berdasarlan sabda Nabi SAW :


Artinya : "Barangsiapa mendapatkan rakaat dari shalat, maka dia laksanakan shalat itu !“ (HR. Muslim)
Akan tetapi, orang yang sedang mengalami udzur tetaplah memperoleh keutamaan shalat berjemaah walaupun dia tidak melaksanakannya bersama imam.
Sabda Nabi SAW :


Artinya : "Apabila seorang hamba sakit atau bepergian, maka Allah tetapkan bagi dia pahala amal yang biasa dikerjakan sewaktu sehat atau mukim.“ (HR. Bukhari)
Dan, pada perang Tabuk beliau bersabda, "Sesungguhnya di kota Medinah terdapat banyak kaum yang akan selalu bersama kalian seandainya tidak berhalangan, menempuh jalan yang kalian lalui dan mengarungi lembah mana kalian lintasi.“ Dan dalam sebuah riwayat ditambahkan "...... kecuali mereka juga mendapatkan pahala seperti yang kalian peroleh.“
Ketika suatu jemaah mendapati imam dalam keadaan Tasyahud Akhjir, adalah lebih utama mereka lengsung mengikutinya. Sabda Nabi SAW :


Artinya : "Jika kamu berangkat hendak shalat maka pergilah dengan tenang, rakaat mana yang kalian dapatkan maka kerjakanlah, dan yang ketinggalan lengkapilah!“ (HR. Muttafaq ‚Alaih)
Dan tidak mengapa mereka kemudian shalat sendiri dalam jemaah itu, Insya Allah.
52) Kami seringkali memperhatikan sebagian orang apabila masuk mesjid untuk shalat Subuh masih shalat sunnat 2 rakaat dahulu padahal telah dikumandangkan iqamat, baru kemudian mengikuti imam. Bagaimanakah hukumnya? Apakah diutamakan melaksanakan 2 rakaat shalat sunnat itu selepas waktu fajar langsung atau menunggu terbitnya matahari?
• Bagi oran g yang memasuki mesjid ketika iqamat sudah dikumandangkan, tidak diperkenankan lagi bagi dia untuk shaslat Qabliyah atau Tahiyyat Mesjid. Melainkan, bagi dia supaya langsung mengikuti imam melaksanakan shalat yang sedang dikerjakan. Sabda Nabi SAW :


Artinya : "Apabila telah dikumandangkan iqamat maka tidak ada shalat lain kecuali shalat fardlu.“ (H. Muslim)
Termasuk dalam hadits ini shalat Subuh dan yang lainnya. Baru kemudian bagi dia diperkenankan melaksanakan shalat sunnat atau menundanya hingga waktu terbit matahari. Inilah yang lebih utama. Ada banyak sabda Nabi SAW yang menunjukkan perihal demikian.
53) Kami shalat berjemaah bersama seorang imam. Dia "salam“ sekali ke kanan. Bolehkah "salam“ yang ke kiri lebih singkat dari yang pertama? Apakah dalilnya?
• Sebagian ulama’ berpendapat bahwa sebenarnya salam sekali saja sudah cukup dengan berdalil kepada beberapa hadits mengenai hal ini. Namun, ada juga beberapa ulama’ yang memandang wajib dengan dua salam,dengan alasan sabda Nabi SAW :


Artinya : "Kerjakanlah shalat sebagaimana kalian melihat aku shalat!“ (HR. Imam Bukhari)
Dan, pendapat yang terakhir merupakan yang paling benar dikalangan ulama’.
Sedangkan pendapat yang memandang cukup dengan sekali salam adalah dlo’ief karena lemahnya dalil yang digunakan dan sebab kurang jelasnya keterangan yang diperlukan. Sekalipun pendapat mereka benar tetapi dalil mereka tetaplah lemah, karena bertentangan dengan dalil yang lebih shahih dan kuat. Tetapi, orang yang mengerjakannya karena dasar tidak tahu atau sebab meyakini kebenaran hadits-hadits tersebut, shalatnya sah.
54) Jika seorang masbuq dalam shalat Raba’iyah (4 rakaat: Dluhur, Ashar, Isya’) mengikuti imam shalat bersamanya 2 rakaat, dan ternyata kemudian bahwa imam telah mengerjakan 5 rakaat, apakah bagi dia harus menyempurnakan dengan menambah 3 rakaat atau cukup 2 saja?
• Jawaban yang benar, bahwa rakaat lebih itu tidak termasuk hitungan rakaat shalatnya, sebab dalam hukum syar’ie hal itu merupakan kelalaian. Jadi, dia harus menyempurnakan shalat dengan 3 rakaat lagi. Karena pada hakikatnya dia baru memperoleh 1 rakaat saja.
55) Seorang imam meimpin shalat berjemaah tanpa wudlu’ sebab lupa. Bagaimanakah hukum shalat yang demikian pada hal-hal berikut :
a. Teringat ketika shalat,
b. Teringat sesudah salam sebelum jemaah bubar,
c. Teringat setelah jemaah bubar.
• Kalau imam baru teringat sesudah salam maka shalat jemaah sah dan mereka tidak usah mengulang shalat, kecuali imam harus mengulangnya sendiri.
Bila imam teringat dalam shalat, hendaklah ada orang lain yang menggantikannya mengimami jemaah. Demikian menurut pendapat yang paling benar dikalangan ulama’, berdasarkan kisah wafatnya Sayyidina Umar r.a. ketika dia tertikam mengimami shalat lalu digantikan oleh Abdurrahman bin Auf r.a. menyempurnakan shalat.
56) Seorang pendosa, seperti : perokok, memotong jenggot, memanjangkan pakaian, dll., mengimami shalat. Bagaimanakah hukumnya?
• Shalatnya sah, menurut ijmak ulama’, jika dikerjakannya dengan cara sebagaimana yang disyariatkan oleh Allah SWT. Begitupun shalat orang yang bermakmum kepadanya asal sang imam tidak menyimpang bagaimana caranya shalat. Kecuali orang kafir, tidaklah sah shalat yang dia kerjakan dan juga shalat orang yang bermakmum kepadanya. Sebab dia tidak memenuhi satu syarat butama, yakni Islam.
57) Sebagaimana kita ketahui bahwa posisi makmum jika sendirian adalah di sebelah kanan imam, apakah diperbolehkan kalau dia mengambil posisi di selain itu?
• Sebagaimana disyariatkan, apabila makmum hanya seorang supaya mengambil posisi sejajar di sebelah kanan imam. Dan sementara ini saya tidak pernah mendapatkan dalil yang menunjukkan selain daripada itu.

***














SUJUD SAHWI

58) Ketika seseorang shalat ragu apakah dia telah mengerjakan 3 rakaat atau 4, apakah yang harus dia kerjakan?
• Bagi seseorang yang ragu hendaklah dia memutuskannya dengan keyakinan, yaitu pada hitungan yang paling sedikit. Yakni, dia yakinlah 3 rakaat dan kerjakan lagi 1 rakaat, kemudian sujud Sahwi. Nabi SAW bersabda :





Artinya : “Apabila salah seorang di antara kalian ragu dalam shalat dan tidak dapat memastikan apakah 3 atau 4 rakaat, hendaklah dia hilangkan keragu-raguan itu dan menentukan menurut keyakinannya, kemudian sujud sahwi 2 kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat 5 rakaat maka shalatnya menjadi penolong bagi dirinya, dan kalau lengkap rakaat shalatnya maka amatlah merugikan bagi syaithan.” (HR. Imam Muslim dari hadits Abu Sa’ied Al-Khudri r.a.)
Andaikata dia dapat meyakini salah satunya antara kurang atau cukup, hendaklah dia membangunnya menurut keyakinan kemudian sujud sahwi dua kali sesudah salam. Nabi SAW bersabda :



Artinya : “Apabila salah seorang di antara kalian ragu dalam shalat, hendaklah dia memilih yang paling benar, kemudian menyempurnakan rakaat dan sujud sahwi dua kali sesudah salam.” (HR. Imam Bukhari dari Ibnu Mas’ud r.a.)
59) Sebagian imam ada yang mengerjakan sujud sahwi sesudah salam, dan ada pula yang mengerjakannya sebelum salam; juga ada yang sujud 1 kali sebelum salam dan ada yang memilih sesudah salam. Adakah dalil dari perintah syar’ie atau anjuran sunnat yang menunjukkan bahwa sujud sahwi dikerjakan sebelum salam?
• Persoalan ini amat luas bahasannya. Adalah sama diperbolehkan mengerjakan sujud sahwi dengan dua cara itu, yakni sebelum atau sesudah salam. Karena cukup banyak hadits-hadits yang menerangkan demikian. Akan tetapi, cara yang lebih utama adalah mengerjakannya sebelum salam, kecuali pada 2 hal :
a. Apabila salam dalam keadaan kurang rakaat 1 atau lebihj. Yang diutamakan adalah mengerjakan sujud sahwi setelah menyempurnakan rakaat terlebih dahulu dan kemudian salam. Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi SAW dalam riwayat Abnu Hurairah r.a. Beliau sujud sahwi setelah menyempurnakan rakaat terlebih dahulu dan salam.
b. Jika dia ragu akan jumlah rakaat apakah 3 atau 4 shalat Ruba’iyah, 2 atau 3 dalam shalat Maghrib, 2 atau 1 dalam shalat Subuh, tetapi dia yakin pada salah satu keraguannya antara kurang atau lebih, maka dia kerjakan menurut yang diyakininya, kemudian sujud sahwi sesudah salam. Demikian cara yang utama menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a. pada jawaban pertanyaan nomor 58 di atas.
60) Apakah makmum masbuq yang lupa wajib sujud sahwi, dan kapankah dia harus sujud sahwi? Apakah makmum wajib sujud sahwi ketika lupa?
• Makmum tidak usah mengerjakan sujud sahwi ketika lupa. Dia wajib selalu mengikuti imam, jika dia mengikutinya dari awal shalat. Adapun orang masbuq wajib sujud sahwi bersama imam apabila lupa, atau ketika dia tengah shalat sendirian menyempurnakan rakaat
61) Apakah disyariatkan sujud sahwi pada hal-hal berikut :
a. Apabila membaca surat pendek sesudah Al-Fatihah pada dua rakaat terakhir shalat Ruba’iyah;
b. Bila didalam sujud membaca Subhaana Rabbiyal’adhiemi..., misalnya;
c. Apabila menyaringkan suara pada shalat sirriyah dan menahan suara pada shalat jahriyah?
• Apabila pada dua rakaat terakhir shalat Ruba’iyah atau pada salah satunya membaca satu ayat atau lebih karena lupa, tidaklah disyariatkan lagi bagi dia untuk sujud sahwi. Sebab, Nabi SAW sendiri pernah lupa tanpa sengaja membaca surat tambahan sesudah Al-Fatihah pada rakaat ke-3 dan 4 shalat Dluhur. Bahkan dalam suatu riwayat, Nabi SAW memuji salah seorang sahabat bernama Amir r.a. yang senantiasa membaca surat Al-Ikhash (QUL HUWALLAAHU AHAD...) sesudah Al-Fatihah pada setiap rakaat shalat. Namun, yang masyhur bahwa pada rakaat ke-3 dan 4 beliau tidak membaca surat selain Al-Fatihah. Demikian disebutkan dalam kitab Shahihain dari riwayat Abu Qutadah r.a.
Diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddieq r.a. bahwa setiapkali shalat Maghrib sehabis Al-Fatihah dia selalu membaca ayat : RABBANAA LAA TUZIGH QULUUBANAA BA’DA IDZ HADAITANAA WA HAB LANAA MIN LADUNKA RAHMATAN INNAKA ANTAL-WAHHAAB... (QS. Ali Imran : 8)
Semua riwayat di atas menunjukkan betapa luasnya bahasan mengenai persoalan ini.
Mengenai sementara orang yang membaca surat Al-Fatihah ketika rukuk atau sujud karena lupa, hendaklah dia kerjakan sujud sahwi. Sebab, Nabi SAW melarang bacaan di dalam rukuk atau sujud. Kecuali dia membacanya karela lupa, baik ketika rukuk atau saat sujud : Subhaana Rabbiyal 'Adhiemi... mengganti bacaan Subhaana Rabbiyal A’laa..., maka dia tidak wajib sujud sahwi, sebab telah meninggalkan yang wajib karena lupa. Dan dia tidak wajib sujud sahwi bila mengumpulkan kedua bacaan itu di dalam rukuk atau sujud karena lupa. Namun, sekiranya dia berkenan sujud sahwi, hal itu boleh saja. Yang demikian berkenaan dengan shalatnya imam, sendirian dan masbuq.
Adapun makmum yang shalat berjemaah bersama imam dari awal rakaat, dalam konteks pembahasan ini, tidak usah mengerjakan sujud sahwi. Dia wajib tetap mengikuti imam. Sebagaimana wajib begitu pula ketika dia menyaringkan suara pada shalat Sirriyah atau menahan suara pada shalat Jahriyah. Sebab, pada suatu ketika Rasulullah SAW sendiri adakalanya menyaringkan bacaan ayat dalam shalat Sirriyah.


***





JAMAK DAN QASHAR

62) Sebagian orang memandang jamak dan qashar keduanya harus dikerjakan secara bersamaan. Sehingga kalau dikerjakan jamak maka harus qashar pula; atau bila dikerjakan qashar maka jamak juga? Mana lebih diutamakan bagi musafir antara qashar tanpa jamak, ataukah jama’ dan qashar?
• Orang yang disyariatkan oleh Allah SWT untuk melakukan qashar, dalam hal ini adalah musafir, adalahj diperkenankan bagi dia melakukan jamak. Tetapi tidak dibeanrkan melakukan keduanya sekaligus. Dia boleh melakukan qashar tetapi jangan pula jamak. Meninggalkan jama’ adalah lebih utama apabila musafir bermalam, sebagaimana dilakukan Nabi SAW di Mina pada waktu mengerjakan haji Wada’. Beliaupun pernah mengqashar shalat dan tidak menjamak, dan pernah juga melakukan keduanya dalam perang Tabuk. Apabila sedang dalam perjalanan tanpa berhenti di suatu tempat, beliau melakukan qashar dan jama; di atas punggung unta. Hal ini menunjukkan betapa luasnya bahasa dalam persoalan ini.
Adalah lebih luas lagi persoalan mengenai jamak. Jamak boleh dilakukan oleh orang sakit, dan boleh juga dilakukan oleh kaum muslimin tatkala turun hujan lebat antara Maghrib dan Isya’, Dluhur dan Ashar, sedang mereka berada di dalam mesjid. Tetapi, tidak diperkenankan mereka melakukan qashar, karena itu hanya bagi musafir saja.
63) Apabila tiba waktu shalat saat dia sedang di rumah kemudian bepergian (musafir) sebelum mengerjakan shalat, haruskah dia melakukan jamak dan qashar atau tidak?
Juga, bila dia shalat Dluhur dan Ashar dengan Jamak dan Qashar sekaligus, misalnya, kemudian tiba di kampungnya pada waktu ashar, padahal dia mengetahui bahwa dia akan sampai di kampungnya pada waktu Ashar, apakah yang dilakukannya itu benar?
• Menurut pendapat yang paling benar dikalangan ulama’ yakni pendapat Jumhur, bahwa saat tiba waktu shalat bagi musafir ketika dia masih berada di rumah kemudian berangkat sebelum shalat, disyariatkan supaya dia melakukan qashar jika dia terburu-buru meninggalkan kampungnya.
Dan jika dia kemudian jamak dan qashar dalam perjalanan, dan ternyata dia tiba di kampungnya sebelum atau ketika masuk waktu shalat kedua, maka tidaklah perlu bagi dia mengulang shalatnya. Sebab, dia telah mengerjakan shalat itu menurut tuntunan agama yang benar. Seandainya dia lalu shalat lagi bersama jemaah maka shalatnya sebagai ibadah nafilah.
64) Berapa jarak perjalanan dipebolehkannya melakukan qashar? Bagaimana pendapat anda mengenai seseorang yang berniat menetap selama lebih dari 4 hari dalam perjalanan, apakah diperbolehkan melakukan qashar?
• Ketentuan Jumhur Ulama’ adalah kira-kira jarak perjalanan sehari-semalam naik unta dan kendaraan sejenis lainnya, yakni sekitar 80 km. Menurut Jumhur Ulama’ pula, bahwa bagi oang yang berniat menetap lebih dari 4 hari maka wajiblah dia mengerjakan shalat secara lengkap dan wajib puasa jika kebetulan bulan Ramadlan. Kecuali jarak perjalanannya kurang dari hari itu, dia diperbolehkan mengqashar dan menjamak shalat, dan berbuka. Sebab, pokok persoalannya bagi orang yang mukim adalah mengerjakannya secara lengkap, dan baru diperbolehkan mengqashar shalat apabila sedang dalam perjalanan.
Diriwayatkan bahwa Nabi SAW mukim selama 4 hari pada saat mengerjakan haji Wada’, dan mengqashar shalat, kemudian beliau berangkat menuju Mina dan Arafah, menunjukkan diperbolehkannya qashar shalat bagi orang yang berniat mukim selama 4 hari atau kurang.
Sedangkan mukimnya beliau selama 14 hari pada Pembebasan Kota Mekkah dan 20 hari ketika perang Tabuk, tidaklah direncanakan. Tetapi, beliau mukim sebab tidak mengetahui kapan akan keadaannya itu berakhir.
Jadi, bagi orang yang mukim wajib mengerjakan shalat secara lengkap 4 rakaat waktu Dluhur, Ashar dan Isya’. Jika dia tidak berencana untuk mukim tetapi tidak juga mengetahui kapan akan berangkat, di sinilah dia diperbolehkan mengerjakan qashar, jamak dan buka puasa, hingga dia mukim selama waktu lebih dari 4 hari atau pulang ke kampungnya.
65) Ketika turun hujan di sebuah kota di mana jalan-jalan beraspal dan cahaya lampu terang sehingga tidak ada kesulitan untuk keluar mesjid, dia menjamak taqdhim shalat Maghrib dan Isya’, bagaimana menurut anda?
• Tidak amsalah menjamak shalat Maghrib dengan Isya dan Dluhur dengan Ashar karena alasan hujan, apalagi kalau jalan licin dan berlumpur sehingga menyulitkan. Hal itu berdasarkan pada riwayat Ibnu Abbas r.a. dalam Kitab Shahihain bahwa di kota Medinah Nabi SAW pernah menjamak shalat Dluhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’,... yang oleh Imam Muslim ditambahkan : ... selain keadaan genting, hujan atau dalam perjalanan; menunjukkan bahwa di masa sahabat keadaan genting dan hujan, sebagaimana juga dalam perjalanan, merupakan suatu bentuk halangan diperbolehkannya jamak shalat tetapi dilarang qashar karena masih dalam keadaan mukim. Dan, qashar Cuma menjadi keringanan khusus bagi musafir.
66) Banyak sekali orang shalat Maghrib tanpa niat jamak, dan sehabis shalat mereka lantas berembuk dengan para jemaah untuk menjamak Isya’. Apakah niat merupakan syarat diperbolehkannya jamak?
• Mengenai persoalan ini, para ulama’ berbeda pendapat. Tetapi pendapat yang paling benar adalah bahwa niat tidaklah merupakan syarat pada saat memulai shalat yang pertama. Melainkan, dipebolehkan menjamak shalat sehabis yang pertama. Kalau karena alasan keadaan genting, sakit atau hujan.
67) Karena syarat berturut-turut mengerjakan dua shalat yang dijamak, apakah dianggap sah memisah dua shalat kalau dia melaksanakan shalat yang kedua sedikit agak akhir waktunya ?
• Adlah diwajibkan pada waktu mengerjakan Jamak Taqdim untuk menyambung antara dua shalat, namun juga tidak masalah memisah dengan ibadah lain sekedarnya. Sebagaimana sabda Nabi SAW, "Laksanakanlah shalat sebagaimana kalian melihat caraku shalat !"
Yang benar bahwa niat tidaklah merupakan syarat sebagaimana disebutkan pada jawaban soal no. 66 di atas. Sedangkan Jamak Ta’khier pembahasannya amatlah luas. Karena shalat yang kedua dilaksanakan memang pada waktunya. Tetapi, cara yang diutamakan adalah dengan menyambung antara kedua shalat sebagaimaan dilakukan oleh Nabi SAW.
68) Suatu hari kami sedang dalam perjalanan, dan ketika tiba waktu Dluhur kami melalui sebuah mesjid. Apakah disunnatkan bagi kami untuk mengerjakan shalat Dluhur bersama jemaah kemudian shalat Ashar dengan cara qashar, ataukah kami shalat sendirian ?
Jika kami shalat berjemaah bersama mereka kemudian ingin shalat Ashar, apakah sesudah salam kami langsung bangkit demi menyambung shalat, ataukah harus berdzikir dan tahlil terlebih dahulu ?
• Diutamakan bagi anda sekalian untuk shalat qashar sendiri, sebab disunnatkan bagi musafir mengqashar shalat Ruba’iyah. Jika anda mengerjakannya bersama mereka yang mukim, maka wajiblah anda menyempurnakan shalat, sebagaimana dibenarkan dalam suatu riwayat dari Nabi SAW bahwa apabila anda ingin menjamak shalat hendaklah segera lakukan selesai membawa istighfar 3 kali dan dzikir Allahumma Antas-Salaam wa Minkas-Salaam, tabaarakta yaa Dzal-Jalaali wal-Ikraam...
Kecuali musafir seorang, diwajibkan dia shalat bersama jemaah yang mukim, dan melengkapi rakaat. Sebab, melaksanakan shalat berjemaah merupakan salah satu kewajiban sedangkan qashar adalah sunnat. Yang wajib lebih didahulukan dari yang sunnat.
69) Apakah hukumnya orang mukim shalat bersama musafir yang sedang shalat qashar, baik sebagai imam ataupun makmum ?
• Seorang musafir yang bemakmum keapda orang mukim dan orang mukim yang bermakmum kepada musafir, keduanya sama diperbolehkan. Tetapi, apabila yang musafir kepada yang mukim maka dia wajib berniat shalat dengan rakaat lengkap mengikuti imam. Sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahad dan Shahih Muslim dari riwayat Ibnu Abbas r.a. bahwa dia pernah ditanya tentang shalatnya musafir 4 rakaat dengan bermakmum kepada orang mukim, dan jawabnya bahwa demikianlah yang diajarkan Nabi SAW.
Kalau orang mukim bermakmum keapda musafir pada shalat Ruba’iyah maka dia sempurnakan rakaat ketika imam salam.
70) Adakalanya terjadi orang-orang menjamak shalat Maghrib dan Isya’ karena alasan hujan, mereka mengikuti imam yang dikira sedang shalat Maghrib. Bagaimanakah tentang mereka ?
• Hendaklah mereka duduk pada rakaat ketiga dan membaca Tasyahud dan doa lalu salam mengikuti imam, sesudah itu mereka kerjakan shalat Isya’, demi memperoleh pahala shalat jemaah dan mengerjakan shalat dengan tertib. Sekiranya mereka ketinggalan 1 rakaat, dapatlah mereka shalat dengan rakaat sisanya dengan niat Maghrib. Dan, kalau mereka ketinggalan lebih dari itu maka hendaklah mereka shalat dengan rakaat yang didapatnya kemudian melengkapi kekurangannya.
Begitu pula seandainya imam ternyata shalat Isya’ sementara mereka berniat Maghrib, hendaklah mereka kerjakan sebagaimana cara yang telah kami uraikan tadi.
71) Orang-orang banyak berbeda pendapat mengenai keutamaan melaksanakan sunnat-sunnat Rawatib bersama shalat fardlu dalam perjalanan, termasuk juga shalat-shalat sunnat seperti shalat malam dan sebagainya. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa mengerjakannya adalah sunnat, dan ada juga yang menyebutnya bukan. Sementara shalat fardlu dilaksanakan dengan cara qashar. Bagaimanakah pendapat anda ?
• Disunnatkan bagi musafir supaya tidak mengerjakan shalat Rawatib Dluhur, Maghrib dan Isya’, dengan tetap mengerjakan shalat sunnat fajar ketika itu. Disamping juga shalat tahajud dan witir dalam perjalanan, dan shalat sunnat lainnya seperti sunnat Dluha, sunnat wudlu’, sunnat Kusuf (gerhana), Tilawah dan Tahiyat mesjid ketika masuk mesjid hendak shalat atau keperluan lain, sebagaimana biasa dikerjakan oleh Nabi SAW dahulu.


***








RAGAM PERSOALAN
72) Untuk melakukan Sujud Tilawah, apakah disyaratkan suci ? Apakah gerakannya diikuti dengan takbir, baik bila dikerjakan didalam maupun diluar shalat ? Apa bacaan dalam sujud ini, dan bolehkah berdoa ketika itu ? Jika sujud ini dilakukan diluar shalat, apakah disyariatkan salam ?
• Untuk mengerjakan Sujud Tilawah tidak disyaratkan suci, dan tidak usah takbir atau mengangkat tangan. Demikian pendapat yang paling benar dikalangan ulama’. Melainkan disyariatkan takbir ketika hendak sujud, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Umar r.a.
Apabila Sujud Tilawah dilakukan dalam shalat, adalah wajib dengan takbir pada gerakan menunduk dan bangun. Sabda Nabi SAW, "Laksanakanlah shalat sebagaimana kalian melihat caraku shalat !" (HR. Imam Bukhari)
Disyariatkan dzikir dan doa apda Sujud Tilawah sebagaimana pada sujud shalat, seperti disebutkan dalam banyak hadits. Di antaranya :





ALLAAHUMMA LAKA SAJADTU, WA BIKA AAMANTU, WA LAKA ASLAMTU, SAJADA WAJHIYA LIL-LADZIE KHALAQAHUU WA SHAWWARAHUU WA SYAQQA SAM’AHUU WA BASHARAHUU, BI-HAULIHII WA QUWWATIHII, TABAARAKALLAHU AHSANUL-KHAALIQIEN… : “Ya Allah, kepadaMU aku bersujud; kepadaMU aku beriman; kepadaMU aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Tuhan yang telah menciptakannya, membentuknya, dan menciptakan pendengaran dan penglihatannya, dengan daya dan kekuatanNYA. Maha Tinggi Tuhan Yang Maha Pencipta.”
Hadits di atas diriwayatkan bahwa dalam Sujud Tilawah juga disunnatkan membaca dzikir dan doa sebagaimana dalam sujud shalat. Dalam Sujud Tilawah, Nabi SAW membaca :




ALLAAHUMMA UKTUB LIE BIHAA INDAKA AJRAN, WA-M-HU ‚ANNIE BIHAA WUZRAN, WA-J-'ALHAA LIE 'INDAKA DZUHRAN, WA TAQABBALAHAA MINNIE KAMAA TAQABBALTAHAA MIN 'ABDIKA DAAWUUDA 'ALAIHISSALAAM... : "Ya Allah, tuliskan-lah dengannya bagiku pahala di sisiMU; hapuskanlah dengannya segala dosaku; jadikanlah ia bagiku simpanan kelak di sisiMU; terimalah ia dariku sebagaimana Engkau mengabulkannya dari hambaMU Daud 'Alaihissalam."
Dalam Sujud Tilawah wajib membaca Subhaana Rabbiyal A’laa ... sebagaimana diwajibkan dalam sujud shalat. Adapun doa atau dzikir lain yang ditambahkan sesudah bacaan itu adalah sunnat. Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa Sujud Tilawah didalam maupoun diluar shalat adalah sunnat, bukan wajib.
73) Bolehkah mengerjakan shalat Kusuf (gerhana matahari) dan Tahiyat Mesjid sesudah Ashar atau pada waktu lainnya yang dilarang?
• Para ulama’ berbeda pendapat mengenai kedua persoalan di atas. Tetapi yang benar bahwa hal itu boleh dilakukan sesudah Ashar ataupun selepas shalat Subuh, bahkan dianjurkan. Sebab, shalat gerhana dan Tahiyat Mesjid itu dilaksanakan karena suatu sebab (dzawaatul-asbaab). Sabda Nabi SAW :




Artinya : "Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua tanda dari bukti-bukti kebesaran Allah, yang terjadinya bukan sebagai alamat mati atau lahirnya seseorang. Apabila kalian menyaksikan hal itu, maka lakukanlah shalat dan panjatkanlah doa...“ (HR. Muttafaq 'Alaih)
Dan, sabda Nabi SAW :


Artinya : "Apabila salah seorang di antara kamu memasuki mesjid, maka janganlah dia lantas duduk sebelum shalat 2 rakaat.“ (HR. Muttafaq 'Alaih)
Termasuk juga shalat Sunnat Thawaf 2 rakaat apabila dia melakukan thawaf selepas Subuh atau Ashar. Sebagaimana sabda Nabi SAW :



Artinya : "Hai Bani Abdi Manaf, janganlah kalian cegah seseorang thawaf di Bait ini dan shalat 2 rakaat kapanpun waktunya, malam atau siang hari!“ (HR. Imam Ahmad dan Ahlussunnah yang empat dengan sanad Shahih, dari riwayat Jabir bin Muth’im r.a.)
74) Apakah yang dimaksud dengan akhir shalat pada beberapa hadits mengenai anjuran doa dan dzikir setiap ahalat, akhir shalat atau sesudah salam?
• Yaitu akhir shalat sebelum salam, dan ada juga yang mengatakan langsang sesudah salam. Banyak sekali hadits Shahih yang menerangkan hal itu, dan sebagian besar menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan akhir shalat ialah sebelum salam. Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a. ketika Rasulullah SAW mengajarinya tasyahud, sabda beliau :


Artinya : "Kemudian, hendaklah dia memilih doa yang dia sukai, dan berdoalah...!“ (HR. Muttafaq 'Alaih)
Ada lagi sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adz r.a. bahwa Nabi SAW bersabda :




Artinya : "Janganlah kalian lewatkan akhir shalat untuk berdoa, 'ALLAAHUMMA A’INNIE 'ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI 'IBAADATIKA (Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa ingat dan bersyukur kepadaMU, serta melakukan ibadah yang sebaik-baiknya).“ (HR. Abu Daud, At-Turmedzi, dan An-Nasa’ie, dengan sanad Shahih)
Lagi, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Sa’ad bin ABi Waqash r.a., katanya, “Pada akhir shalat, Nabi SAW berdoa, ‘ALLAAHUMMA INNIE A’UUDZUBIKA MINAL BUKHLI WA A’UUDZUBIKA MINAL JUBNI, WA A’UUDZUBIKA MIN AN URADDA ILAA ARDZALIL ‘UMUUR, WA A’UUDZUBIKA MIN FITNATID DUNYAA WA MIN ‘ADZAABIL QABRI… (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMU dari sifat kikir; aku berlindung kepadaMU dari kebodohan; aku berlindung keapdaMU dari usia hidup yang hina; aku berlindung kepadaMU dari cobaan dunia; aku berlindung kepadaMU dari siksa kubur).”
Beberapa hadits Shahih menyebutklan bahwa bacaan-bacaan dzikir tersebut dibaca pada akhir shalat sesudah salam. Yakni, dimulai dengan bacaan :


ASTAGHFIRULLAAH…3X, ALLAAHUMMA ANTAS-SALAAM, WA MINKAS-SALAAM, TABAARAKTA YAA DZAL-JALAALI WAL-IKRAAMI, baik dia sebagai imam maupun makmum, atau sendirian.
Setelah dzikir dan istighfar, imam menghadap makmum, dan dia maupun makmum atau yang shalat sendirian terus membaca :











LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAHUU LAA SYARIEKA LAHUU,
LAHUL-MULKU WA LAHUL-HAMDU WA HUWA ‘ALAA KULLI SYAI-IN QADIER,
LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAHI…
LAA ILAAHA ILLALLAAHU WA LAA NA’BUDU ILLAA IYYAAHU,
LAHUN-NI’MATU WA LAHUL-FADHLU WA LAHUTS-TSANAA-U HASANU,
LAA ILAAHA ILLALLAAHU MUKHLISHIENA LAHUD-DIENU WALAU KARIHAL KAAFIRUUN…
ALLAAHUMMA LAA MAANI’A LIMAA A’THAITA WA LAA MU’THIYA LIMAA MANA’TA WA LAA YANFA’U DZAL JADDI MINKAL-JADDU…
Kepada segenap kaum muslimin dan muslimat dianjurkan sekali membaca dzikir ini setiap habis shalat yang lima waktu, kemudian membaca SUBHAANALLAAH… ALHAMDU LILLAAHI… ALLAAHU AKBAR…, masing-masing 33 kali, dan pada hitungan yang ke-100 membaca LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAHUU LAA SYARIEKA LAHUU WALAHUL-HAMDU WA HUWA ‘ALAA KULLI SYAI-IN QADIER.
Demikian dijelaskan dalam banyak hadits Rasulullah SAW, dan dianjurkan supaya diteruskan dengan suara pelan membaca Ayat Kursi, Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas, masing-masing 3 kali. Disunnatkan juga setiap habis shalat Maghrib dan Subuh membaca : LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAHUU LAA SYARIEKA LAHUU, LAHUL-MULKU WA LAHUL-HAMDU YUHYIE WA YUMIETU WA HUWA ‘ALAA KULLI SYAI-IN QADIER… 10 kali sebagai tambahan dari bacaan di atas, sebelum Ayat Kursi, Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas.
75) Apakah hukum membaca dzikir secara bersamaan sehabis shalat sebagaimana dilakukan oleh banyak orang? Apakah sunnat membacanya dengan suara pelan atau nyaring?
• Sunnat membaca dzikir dengan suara nyaring sehabis shalat fardlu dan shalat Jum’at sesudah salam. Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa membaca dzikir dengan suara nyaring sehabis shalat fardlu merupakan tradisi pada zaman Rasulullah SAW. Kata Ibnu Abbas r.a., “Aku mengetahui para sahabat membaca dzikir itu sehabis shalat fardlu.”
Membaca dzikir secara bersamaan dan suara serempak dari awal hingga akhir bacaan adalah bid’ah dan tidak ada sunnatnya. Melainkan, yang disyariatkan adalah membaca dzikir dengan tidak menyamakan suara, baik pada permulaan atau akhir bacaan.
76) Apakah batal shalat seseorang yang berbicara ketika sedang shalat karena lupa?
• Apabila seorang muslim berbicara ketika sedang shalat karena lupa atau tidak tahu, tidaklah shalatnya menjadi batal, baik shalat fardlu maupun sunnat. Firman Allah SWT :


Artinya : “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau siksa kami apabila kami lupa atau salah.” (QS. Al-Baqarah : 286)
Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan dari riwayat Mu’awiyah bin Hakam As-Silmi r.a. bahwa ketika sedang shalat dia membalas doa seseorang yang bersin dan tanpa disadari membaca YARHAMUKUMULLAH (semoga Allah melimpahkan rahmatNYA kepadamu), dan apra jemaah menyalahkannya dengan isyarat. Lalu, dia menanyakan hal itu kepada Nabi SAW tetapi beliau tidak menyuruhnya mengulang shalat. Orang yang lupa hukumnya sama bahkan lebih daripada orang yang tidak tahu. Nabi SAW sendiri pernah berbicara karena lupa dikala shalat dan beliau tidak mengulang shalatnya, tetapi melanjutnya. Demikian disebutkan di dalam Kitab Shahihain dari riwayat Abu Hurairah r.a. dan Shahih Muslim dari hadits Ibnu Mas’ud r.a. dan Imran bin Hashien r.a.
Mengenai isyarat dalam shalat, boleh saja jika dilakukan karena suatu hajad.

CARA NABI SAW SHALAT

Alhamdulillahi wahdahu, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan atas Rasulullah SAW, ahli bait dan segenap sahabat beliau. Amma ba’du…
Berikut ini keterangan ringkas berkenaan dengan cara shalat Nabi SAW, ingin sekali saya sampaikan kepada segenap kaum muislimin dan muslimat agar dapat dibaca dalam rangka meneladani sunnah-sunnah Rasulullah SAW, mengingat sabda beliau :


Artinya, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat caraku shalat!”
1) Berwudlu’ dengan sempurna, yakni dengan cara sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT :


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu sekalian hendak shalat, maka basuhlah wajah dan kedua tanganmu hingga siku, dan usaplah kepala dan kakimu hingga mata kaki.”
Sabda Nabi SAW, “Tidaklah diterima shalat tanpa wudlu’, tidak juga shadaqah dari hasil berkhianat.” (HR. Imam Muslim)
2) Menghadap Kiblat, yakni Ka’bah, dengan segenap anggota badannya di manapun dia berada dengan niat shalat yang hendak dilakukannya, baik fardlu atau sunnat. Tetapi tiadk perlu mengucapkannya dengan lisan, karena yang demikian merupakan bid’ah dan tidak ada pangkal sunnahnya. Dan, Nabi SAW maupun para sahabat tiadk mengucapkan niat dengan lisan. Dianjurkan supaya dia membuat pembatas shalat, baik ketika sebagai imam maupun saat shalat sendirian.
3) Takbiratul-Ihram dengan lafadh ALLAHU AKBAR seraya mengarahkan pandangan ke tempat sujud.
4) Mengangkat kedua tangan saat takbir hingga pundak atau sejajar daun telinga.
5) Meletakkan kedua tangannya di atas dada, yang sebelah kanan di atas yang kiri. Demikian yang disebut dalam hadits dari riwayat Wail bin Hujri dan Qubishah bin Hulbi Ath-Thoi dari ayahnya r.a.
6) Disunnatkan membaca doa Iftitah. Yakni :




ALLAAHUMMA BAA’ID BAINIE WA BAINA KHOTHOOYAAYA KAMAA BAA’ADTA BAINAL-MASYRIQI WAL-MAGHGRIBI. ALLAAHUMMA NAQQINIE MIN KHOTHOOYAAYA KAMAA YUNAQQOTS-TSAUBUL-ABYADLU MINAD-DANASI. ALLAAHUMMA IGHSILNIE MIN KHOTHOOYAAYA BIL-MAA-I WATS-TSALJI WAL-BARODI : Ya Allah jauhkanlah antaraq aku dan segala dosa-dosaku sebagaimana Engkau jauhkan Barat dan Timur... ya Allah, bersihkanlah diriku dari segala dosa-dosaku sebagaimana Engkau bersihkan pakaian putih dari kotoran... ya Allah, cucilah diriku dari segala dosa-dosaku dengan air, es dan embun... (HR./ Muttafaq ‘Alaih dari hadits Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW)
Jika berkenan, sebagai ganti dari doa di atas, boleh juga membaca :



SUBHAANAKALLAAHUMMA WA BIHAMDIKA, WA TABAAROKA ISMUKA WA TA’AALAA JADDUKA, WA LAA ILAAHA GHOIRUKA : Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan segenap puji-pujian bagiMU ; Maha Suci namaMU lagi Maha Tinggi kemulianMU ; dan tiada tuhan selain Engkau.
Demikian yang ditetapkan oleh Nabi SAW. Dan kalaupun membacakan doa-doa Iftitah lainnya yang juga dilakukan oleh Nabi SAW, tidaklah mengapa. Dan yang paling utama, hendaklah dia mengerjakan dengan membaca yang ini dan sekali-sekali yang itu juga. Karena dengan demikian akan menjadi lebih sempurna kita mengikuti sunnah.
Kemudian mengucapkan :


A’UUDZUBILLAAHI MINASY-SYAITHOONIRROJIEM, BISMILLAAHIR-ROHMAANIRROHIEM... : Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk, dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang...
Lalu membaca surah Al-Fatihah, berdasarkan sabda beliau :


Artinya : "Tidak sah shalat orang yang tidak membaca surah Al-Fatihah."
Lalu, membaca AMIEN.
Disunnatkan pada shalat Dluhur, Ashar dan Isya’, membaca ayat atau surat yang sedang, dan pada shalat Subuh supaya memilih ayat yang panjang, dan surat-surat pendek pada shalat Maghrib. Hendaklah surat pilihan pada shalat Ashar lebih singkat daripada bacaan surat pada shalat Dluhur.
7) Ruku’, dengan membaca takbir sambil emngangkat kedua tangan lurus pundak atau sejajar daun telinga dengan kepala rata punggung, meletakkan kedua tangan pada lutut dengan jari-jari terurai, dan bertuma’ninah seraya membaca :


SUBHAANA RABBIYAL ‘ADHIEMI: Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung.
Diutamakan membacanya 3 kali atau lebih. Dan disunnatkan setelah itu membaca :


SUBHAANAKA ALLAAHUMMA RABBANAA WA BIHAMDIKA ALLAAHUMMA IGHFIR LIE : Maha Suci Engkau, ya Allah, Tuhan kami. Dan dengan memujiMU, ya Allah, ampunilah seghala dosaku…
8) Mengangkat kepala dan kedua tangan dari ruku’ hingga sejajar pundak atau daun telinga sambil membaca :


SAMI’ALLAAHU LIMAN HAMIDAHUU : Maha Mendengar Allah terhadap hamba yang memujiNYA…
Dan apabila shalat sebagai imam atau sendirian, disunnatkan sesudah itu membaca :



RABBANAA WA LAKAL-HAMDU; HAMDAN KATSIERAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIEHI, MIL-US SAMAAWAATI WAL-ARDLI WA MIL-U MAA BAINA HUMAA WA MIL-U MAA SYI’TA MIN SYAI-IN BA’DU… : Hai Tuhan kami, bagiMU segala pujian yang sebanyak-banyaknya, baik dan diberkati sepenuh langit dan bumi, dan meliputi apa yang terdapat di antara keduanya, dan meliputi apa yang hanya Engkau kehendaki…
Baik pula jika sesudah itu ditambah bacaan :



AHLUITS-TSANAA WAL-MAJID, AHAQQU MAA QAALAHUL ‘ABDU WA KULLUNAA LAKA ‘ABDUN, ALLAAHUMMA LAA MAANI-A LIMAA A’THAITA WA LAA MU’THIYA LIMAA MANA’TA, WA LAA YANFA’U DZAL-JADDI MINKAL-JADDU : Tuhan yang pantas menerima puji-pujian, sebagai ungkapan yang hak seorang hamba. Kami sekalian adalah hambaMU. Ya Allah, tiada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tiada yang kuasa memberi apa yang Engkau cegah, dan tiada berguna kekuasaan orang lain di hadapanMU…
Demikian disebutkan dalam banyak riwayat hadits Shahih dari Nabi SAW.
Apabila dia sebagai makmum, ketika mengangkat tangan hendak I’tidal, disunnatkan membaca :


RAABBANAA WA LAKAL-HAMDU…: Tuhan kami, bagiMU-lah segala puji-pujian…, dan seterusnya sebagaimana tersebut di atas.
Disunnatkan makmum meletakkan kedua tangan pada bagian dada sebagaimana dilakukan ketika berdiri sebelum ruku’, seperti diterangkan dari Nabi SAW dalam riwayat Wail bin Hujri dan Sahal bin Sa’ad r.a.
9) Sujud sambil mengucapkan takbir dengan mendahulukan kedua lutut sebelum tangan, jika memungkinkan. Bila kesulitan, diperbolehkan bagi dia mendahulukan kedua kedua tangan sebelum lutut, dengan menghadapkan jemari kaki dan tangannya ke arah Kiblat, dan merapatkan jari-jari tangan; bertumpu pada tujuh anggota badan : dahi dan hidung, tangan, lutut, telapak tangan dan kaki, seraya membaca :


SUBHAANA RABBIYAL A’LAA …: Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi…
dan seterusnya sebagaimana tertulis di atyas sebanyak 3 kali atau lebih, apalagi jika ditambahkan lagi dengan bacaan :


SUBHAANAKALLAAHUMMA RABBANAA WA BIHAMDIKA, ALLAAHUMMA-GHFIR LIE… : Maha Suci Engkau, ya Allah. Dan dengan memujiMU, ya Tuhan kami, ampunilah dosaku!” (HR. Muslim)
Sesudah itu dianjurkan oleh Nabi SAW supaya memperbanyak doa. Sabda beliau, “Agungkanlah olehmu Tuhan ketika rukuk, dan tekunlah kamu berdoa dikala sujud, niscaya akan dikabulkan permohonanmu!” (HR. Muslim) … sambil memohon kepada Allah SWT keperluan dunia dan akhirat untuk dirinya dan segenap kaum muslimin, baik ketika shalat fardlu maupun sunnat; merenggangkan kedua lengan dari kiri kanan tubuh dan dari perut, dan paha dari betisnya, kemudian mengangkat kedua lengan dari tanah.
Dan, sabda Nabi SAW :


Artinya : “Luruslah dalam sujud, dan janganlah salah seorang di antara kalian menjulurkan kedua lengannya seperti anjing!” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
10) Mengangkat kepala sambil mengucapkan takbir dan melipat sebelah kakinya yang kiri kemudian duduk padanya, dan menekuk sebelah kaki yang kanan dengan meletakkan kedua tangan di atas paha dan lutut, seraya membaca :



RABBI-GHFIR LIE… 3x, ALLAAHUMMA-GHFIR LIE WA-R-HAMNIE, WA-R-ZUQNIE WA ‘AAFINIE, WA-HDINIE WA-JBURNIE : Ya Allah, ampunilah segala dosaku… anugerahkanlah kepadaku rahmat, riski, kesehatan, hidayah dan kekuatan, serta kecukupan…”
dengan duduk bertuma’ninah hingga seluruh anggota tepat menurut posisinya sebagaimana i'tidal dan duduk di antara dua sujud.
11) Sujud kedua sambil mengucapkan takbir, dan mengerjakan sebagaimana pada sujud pertama.
12) Mengangkat kepala sambil mengucapkan takbir, dan duduk sejenak seperti duduk di antara dua sujud yang disebut duduk istirahah. Demikian disunnatkan menurut pendapat dikalangan ulama’, karena meninggalkan-nyapun boleh saja. Ketika itu tidak terdapat bacaan atau dzikir…
Bangkit untuk melaksanakan rakaat kedua dengan bertumpu pada kedua lutut jika memungkinkan, bila kesulitan dapat juga bertumpu pada tanah dengan kedua tangan…
Membaca surah Al-Fatihah dan surah pilihan sebagaimana pada rakaat pertama.
Selanjutnya, mengerjakan sebagaimana sesudah itu pada rakaat pertama. Dan, tidak diperkenankan bagi makmum bergerak mendahului imam sebagaimana Nabi SAW melarang begitu dengan senantiasa mengikuti imam. Disunnatkan segala perbuatannya setelah imam. Nabi SAW bersabda :




Artinya : “Sesungguhnya dipilihnya imam adalah untuk diikuti, maka janganlah kalian langgar dia. Bila bertakbir, bertakbirlah… kalau rukuk, rukuklah… apabila mengucapkan SAMI’ALLAAHU LIMAN HAMIDAHUU, ucapkanlah RABBANAA WA LAKAL-HAMDU… Jika, sujud, sujudlah!” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
13) Kalau shalatnya TSANAIYAH atau dua rakaat seperti Subuh, Jum’at dan ‘Ied, hendaklah dia duduk setelah bvangun dari sujud kedua dengan menekuk sebelah kaki yang kanan dan melipat yang kiri, meletakkan tangan kanan di atas paha kanan sambil menggenggam semua jari kecuali telunjuk sebagai isyarat keesaan Allah SWT dikala dzikir dan doa.
14) Boleh juga menggenggam jari manis dan kelingking tangan kanan, melingkarkan ibu jari dan jari tengah, dan menunjuk dengan jari telunjuk. Keduanya sama-sama dilakukan oleh nabi SAW. Maka, diutamakan untuk mengerjakan menurut cara yang satu dan yang lainnya juga sewaktu-awaktu…
Membaca tasyahud dalam posisi ini, yakni :





WASH-SHOLAWAATU WATH-THOYYIBAATU, AS-SAALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAAHI WA BAROKAATUHU, AS-SALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAAHISH-SHOLIHIENA, ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAHU WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASUULALLAAHI : Segenap penghormatan, shalawat dan kebajikan adalah milik Allah ; salam sejahtera, rahmat dan berkah Allah bagimu wahai Nabi ; salam sejahtera pula atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusanNYA...
Setelah itu membaca :




ALLAAHUMMA SHOLLI ‘ALAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALI MUHAMMADIN KAMAA SHOLLAYTA ‘ALAA IBROOHIEMA WA ‘ALAA AALI IBROOHIEMA ; WA BAARIK ‘ALAA MUHAMMADIN WA ‘AALI MUHAMMADIN KAMAA BAAROKTA ‘ALAA IBROOHIEMA WA ‘AALI IBROOHIEMA. INNAKA HAMIEDUN MAJIEDUN... : Ya Allah, sampaikanlah senantiasa shalawat atas Muhammad dan sanak keluarganya sebagaimana Engkau sampaikan shalawat atas Ibrahim dan sanak keluarganya ; dan berkatilah Muhammad dan sanak keluarganya seperti Engkau berkati Ibrahim dan sanak keluarganya. Sesungguhnya Engkau sungguh Maha Terpuji lagi Maha Mulia...
Berlindung kepada Allah SWT dari empat perkara dengan membaca :



ALLAAHUMMA INNIE A’UUDZUBIKA MIN ‘ADZABI JAHANNAM WA MIN ‘ADZAABIL QOBRI WA MIN FITNATIL-MAHYAA WAL-MAMAATI WA MIN FITNATIL-MASWIEHID-DAJJAALI... : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMU dari siksa Jahannam, dari adzab kubur dan dari fitnah yang hidup dan yang mati, serta dari fitnah Al-Masih Dajjal...
Baru kemudian diperkenankan berdoa apa saja yang disukai daripada hajad dunia dan akhirat, termasuk juga mendoakan kedua orang tua dan segenap kaum muslimin, baik shalat itu fardlu atau nafilah.
Sabda Nabi SAW dalam riwayat Ibnu Mas’ud r.a. ketika beliau mengajarinya bacaan tasyahud, "Sesudah itu diperkenankan dia berdoa apa saja yang disukai. » dan dalam lain riwayat disebutkan, "Kemudian dia diperkenankan berdoa keperluan apa saja yang diinginkan."
Termasuk dalam doa ini adalah segala hajad dunia dan akhirat. Lalu salam ke kanan dan kiri seraya mengucapkan : AS-SALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAAHI... AS-SALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAAHI...
15) Apabila shalat itu TSULATSIYAH (seperti: Maghrib) atau RUBAIYAH (seperti : Dluhur, Ashar, Isya’), hendaklah dia membaca tasyahud sebagaimana disebutkan tadi dan shalawat kepada Nabi SAW, kemudian bangkit dengan bertumpu pada kedua lutut sambil mengangkat kedua tangan lurus pundak, seraya membaca : ALLAAHU AKBAR, dan meletakkan tangan di dada lalu membaca Al-Fatihah saja.
16) Boleh saja jika sekali-kali pada rakaat ke-3 atau 4 dalam shalat Dluhur, Ashar dan Isya’, membaca tasyahud dan shalawat atas Nabi SAW, sembari memohon perlindungan kepada Allah SWT dengan membaca :



ALLAAHUMMA INNIE A’UUDZUBIKA MIN ‘ADZAABI JAHANNAMA WA MIN ‘ADZAABI QOBRI WA MIN FITNATIL-MAHYAA WAL-MAMAATI WA FITNATIL-MASIEHID-DAJJAALI : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung keapdaMU dari adzab neraka Jahannam, dari siksa kubur, dari cobaan hidup dan cobaan sesudah mati, dan dari fitnah Al-Masih Dajjal.
Dilanjutkan, kemudian dengan doa apa saja atau doa sebagaimana yang disunnatkan. Seperti :


RABBANAA AATINAA FID-DUNYAA HASANATAN WA FIL-AAKHIROTI HASANATAN WA QINAA ‘ADZAABAN-NAAR : Hai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebahagiaan dunia dan akhirat, dan jauhkanlah kami dari siksa neraka ! ...
Demikian Anas r.a. meriwayatkan bahwa setiap habis shalat nabi SAW seringkali berdoa, "RABBANAA AATINAA FID-DUNYAA HASANATAN WA FIL-AAKHIROTI HASANATAN WA QINAA ‘ADZAABANNAAR : Ya tUhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jauhkanlah kami dari siksa neraka !...
Tetapi, posisi duduk ini adalah duduk tawarrruk, yakni menyilang kaki kiri di bawah kaki kanan yang dilipatkan ke belakang...
Mengucapkan salam ke kanan dan kiri dengan lafadh : Assalaamu 'alaikum warahmatullahi wabarakaatuhu.... Assalaamu 'alaikum warahmatullahi wabarakaatuhu...
Membaca istighfar :







ALLAAHUMMA ANTAS-SALAAM WA MINKAS-SALAAM TABAAROKTA YAA DZAL-JALAALI WAL-IKROOMI, LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAHUU LAA SYARIEKA LAHUU LAHUL-MULKU WA LAHUL-HAMDU WA HUWA 'ALAA KULLI SYAI-IN QODIER, ALLAAHUMMA LAA MAANI’A LIMAA A’THOITA WA LAA MU’THIYA LIMAA MANA’TA WA LAA YANFA’U DZAL-JADDI MINKAL-JADDU, LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAHI, LAA ILAAHA ILLALLAAHU WA LAA NA’BUDU ILLAA IYYAAHU, LAHUN-NI’MATU WA LAHUL-FADHLU WA LAHUTS-TSANAA-UL-HASANU, LAA ILAAHA ILLALLAAHU MUKHJLISHIENA LAHUD-DIENU WALAU KARIHAL KAAFIRUUN...: Ya Allah, Engkaulah Pemberi keselamatan, dan dariMU datangnya keselamatan. Maha Suci Engkau hai Dzat Yang Maha Tinggi lagi Mulia. Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa tiada sekutu bagiNYA. Milik Dia kekuasaan dan segenap pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, taida yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tiada yang kuasa memberi apa yang Engkau cegah, dan tiada berguna kekuasaan orang lain di hadapanMU. Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuasaan Allah. Tiada tuhan selain Allah, dan hanya kepadaNYA kita menyembah. Milik Dia segala kenikmatan dan keutamaan serta pujian yang baik. Tiada tuhan selain Allah, kepadaNYA mereka patuh dengan setulus hati walaupun orang-orang kafir tiada menyukai...
Membaca Ayat Kursi, Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Naas. Disunnatkan bila ketiga surat terakhir dibaca berulang-ulang setiap habis shalat Maghrib dan Subuh, sebagaimana disunnatkan dalam hadits-hadits Shahih pada setiap habis dzikir shalat Maghrib dan Subuh menambah bacaan : LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAHUU LAA SYARIEKA LAHUU LAHUL-MULKU WA LAHUL-HAMDU WA HUWA ‘ALAA KULLI SYAI-IN QODIER… 10 kali.
Hendaklah menghadap makmum jika dia sebagai imam, sesudah membaca istighfar 3 kali dan ALLAAHUMMA ANTAS-SALAAM WA MINKAS-SALAAM TABAAROKTA YAA DZAL-JALAALI WAL-IKROOMI…dst. Hal ini sunnat dilakukan, dan bukan wajib.
Dianjurkan bagi setiap muslim dan muslimat shalat sunnat 4 rakaat sebelum dan sesudah Dluhur; 2 rakaat sesudah Maghrib dan Isya’, dan 2 rakaat sebelum Subuh, berjumlah 12 rakaat. Inilah yang sidsebut Rawatib, yang biasa dikerjakan secara rutin oleh Nabi SAW selama beliau berada di rumah. Jika kebetulan sedang dalam perjalanan beliau tidak mengerjakannya, kecuali shalat sunnat Fajar dan Witir. Hal ini merupakan suri tauladan yang dicontohkan bagi kita untuk di-TIRU. Firman Allah SWT :


Artinya : “Telah ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah.”
Dan, sabda beliau SAW :


Artinya : “Kerjakanlah shalat sebagaimana kamu melihat caraku shalat!” (HR. Imam Bukhari)
Shalat sunnat Rawatib sunnat dikerjakan di rumah saja. Tetapi boleh juga dikerjakan di mesjid. Sabda Nabi SAW :


Artinya : “Sebaik-baik shalat seseorang adalah dikerjakan di rumahnya, kecuali shalat fardlu.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Senantiasa mengerjakan shalat-shalat sunnat merupakan penyebab masuk surga, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Shahih Muslim dari ummu Habibah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : “Tidak ada seorang muslim yang shalat sebanyak 12 rakaat setiap hari selain fardlu, kecuali Allah bangun untuk dia rumah di surga.”
Demikianlah Imam Turmedzi r.a. menafsirkan makna dari hadits ini sebagaimana disebutkan di atas. Baik pula apabila dia shalat sunnat 4 rakaat sebelum Ashar, 2 rakaat sebelum Maghrib dan 2 rakaat sebelum Isya’. Sabda beliau :


Artinya : “Allah menyayangi orang yang suka melaksanakan shalat 4 rakaat sebelum Ashar.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan At-Turmedzi)
Dan, sabda beliau :


Artinya : “Di antara dikumandangkannya dua adzan ada shalat… (diulang-ulang hingga 3 kali, dan ditambahkan) bagi siapa saja yang mau.” (HR. Bukhari)
Demikian risalah ini disampaikan secara ringkas oleh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz. Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa mengasihi dan mengampuni segala dosa-dosanya, dosa-dosa kedua orang tuanya dan kaum muslimin sekalian. Dan, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan atas junjungan Nabi Muhammad SAW, Ahli-Bait, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti ajaran beliau hingga Hari Kemudian. Amien...