Jumat, 05 Juni 2009

PSIKOLOGI KEPEMIMPINAN
Oleh : AHMAD FAUZI, S.Pd.


PENGANTAR

Ada dua pendekatan yang saling melengkapi dan tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, atau dikesampingkan begitu saja dalam mengkaji konsep kepemimpinan; yaitu aspek fisiologis dan aspek psikologis. Yang pertama lebih memfokuskan diri pada hal-hal yang konkret dan rasional; sedang yang akhir, lebih mengarah pada dimensi emosional yang sering kita temukan di dalamnya hal-hal yang non- rasional.
Untuk mendapatkan pengertian yang utuh (komprehensif) tentang kepemimpinan, maka masing-masing pendekatan tersebut harus mendapat porsi yang seimbang. Dalam kesempatan yang amat terbatas ini, tulisan ini membatasi diri pada telaah aspek psikologis dalam kepemimpinan, sebagaimana permintaan panitia.
Perlu dimaklumi, bahwa pembahasan tentang aspek psikologis dalam kepemimpinan merupakan bagian kecil dari kajian psikologi kepemimpinan, satu sub tema yang cukup lus dalam bidang Leadership yang sempat disodorkan oleh panitia. Aspek mikro ini justru lebih penting untuk diketahui lebih awal bagi “calon pemimpin”.
Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa kajian ini perlu didahulukan. Pertama, bidang psikologi jauh lebih luas dan complicated daripada kajian aspek psikologisnya, yang karena itu membutuhkan waktu yang cukup luas untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan mendalam. Kedua, bidang psikologi kepemimpinan merupakan kajian yang relatif lebih “abstrak” daripada aspek psikologisnya yang lebih menampakkan wujud konkretnya, sekalipun agak samar, pada perilaku nyata. Dan Ketiga, untuk tahap pemula (bagi yang baru berkenalan dengan disiplin ilmu psikologi) sangat baik menelaah konsep kepemimpinan dimulai dari bidang yang lebih spesifik.

PENDAHULUAN
Aspek psikologis dalam Leadership lebih mengarah pada bagaimana seorang pemimpin mampu menjadi teladan bagi bawahannya, sehingga apa yang dia inginkan (dalam konteks organisasi) diikuti, segala yang diperintahkan dilakukan sebaik mungkin, dan apa-apa yang dia larang dipatuhi untuk dijauhi. Keteladanan terwujud karena ia memiliki kelebihan-kelebihan tertentu yang jarang (bahkan tidak) dimiliki oleh bawahannya. Dan tambahan lagi bahwa kelebihan tersebut menduduki posisi dominan dalam kelompoknya.
Diantara kelebihan yang dapat mengantarkan seorang pemimpin menjadi teladan bagi bawahannya adalah keunggulannya dalam hal integritas pribadi, penguasaan IPTEK, aspiratif, apresiasif, cepat mengambil keputusan dan melakukan tindakan, dan sejenisnya. Gambaran aspek psikologis demikian berlaku umum pada organisasi yang solid.
Untuk itu seorang pemimpin harus mempunyai modal dasar sehingga mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajerial. Kaitannya dengan leadership, fungsi manajerial yang terutama dan mendasar harus dimiliki oleh seorang pemimpinadalah: Actuating, yaitu kemampuan pemimpin dalam mempengaruhi dan mengarahkan tindakan seseorang atau kelompok pada suatu organisasi dalam upaya memanfaatkan sumberdaya manusia, material, teknologi dan finansial untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif.
Fungsi actuating ini menduduki posisi tertinggi diantara fungsi-fungsi manajerial yang ada. Bila fungsi ini terabaikan, maka seorang pemimpintidak lebih berfungsi daripada “Boneka”, yang sepenuhnya dikendalikan oleh bawahannya.

KOMPONEN POKOK YANG DOMINAN

Tidak sedikit orang yang menduduki posisi kunci dalam suatu organisasi telah memiliki kecakapan yang memadai (profesional) sesuai dengan kompetensi bidang kerjanya, tapi dia merasa kesulitan ketika menjalankan tugas-tugas pengelolaan organisasinya. Kesulitan tersebut semakin lengkap bila melihat pluralistik perilaku bawahannya yang kurang (bahkan tidak) mendukung terhadap kegiatan operasionalisasinya.
Untuk mengatasi persoalan yang cukup serius itu, setidaknya ada dua komponen pokok yang harus ada secara dominan pada seorang pemimpin; Yaitu: kemampuan memotivasi bawahannya dan kemampuan mengelola konflik. Dua kompetensi itu merupakan bagian dari fungsi manajerial yang terutama harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Kemampuan untuk memotivasi bawahan merupakan keterampilan manajerial yang wajib dikuasasi oleh seorang pemimpin organisasi. Karena, ia bertanggungjawab untuk membantu bawahannya melaksanakan tugas-tugas secara efektif dan efisien. Yang harus dimengerti bahwa pemimpin tidak mungkin mempengaruhi dan memotivasi bawahan bila ia tidak memahami apa yang menjadi kebutuhannya. Peran penting dari motivasi adalah mampu mendorong kegairahan bawahan untuk berbuat sebaik dan seoptimal mungkin. Dengan memahmi pentingnya peranan motivasi tersebut, seorang pemimpin dapat mengembangkan prestasi dan kepuasan kerja bawahan.
Kemampuan pemimpin untuk mengelola konflik, didasarkan pada alasan bahwa bawahan memiliki perbedaan karakterisitik psikologis, pola pikir dan gaya berkomunikasi. Perbedaan itu berpotensi atau berpeluang besar menjadi penyebab terjadinya konflik antar bawahan, yang sedikit banyak dapat mengganggu kelancaran atau kontinuitas kegiatan. Jadi tugas pemimpin adalah ikut mengatasi problem tersebut sehingga bawahan menyadari dan melaksanakan tugas, fungsi dan tanggungjawab masing-masing.

POLA KEPEMIMPINAN
Sebelum melangkah pada pembahasan motivasi dan pengelolaan konflik sebagai unsur pokok aspek psikologis leadeeership, perlu disinggungtentang pola kepemimpinan.
Dalam teori kepemimpinan dikenal tiga model pendekatan dasar, yaitu: (1) model sifat (trait model), yang memusatkan bawahannya pada karakteristik personal pemimpin; (2) model perilaku (behavioral model), yang memusatkan pada tindakan pemimpin; (3) model kontinjensi (contingency model), yang menilai hubungan antara karakterisitik situasi yang ada dengan perilaku yang dimiliki seorang pemimpin. Model ketiga ini lebih dekat pada pembahasan aspek psikologis kepemimpinan.
Model kontinjensi memfokuskan pentingnya situasi dalam menetapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan masalah yang dihadapi. Menurut F.E Fiedler gaya kepemimpinan ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pemimpin yang berorientasi pada orang (hubungan manusiawi) dan pada tugas.
Pada orientasi yang pertama pemimpin mendapatkan kepuasan bila terjadi hubungan yang mapan diantara sesama anggota kelompok dalam suatu pekerjaan. Bawahan dipandang sebagai co-worker (patner) dengan menjalin hubungan positif. Sedang orientasi yang kedua, memandang bahwa pemimpin akan puas bilamampu menyelesaikan tugas-tugasnya dan bawahannya. Hubungan yang harmonis dengan bawahan bukan suatu prioritas, karena prioritas utamanya pada penyelesaian tugas. Dengan kata lain, mengabaikan hubungan manusiawi dengan pekerjaannya. Pemimpin yang berorientasi manusiawi dikenal dengan istilah trust worthing (menekankan rasa percaya diri terhadap bawahan); sedang pemimpin yang berorientasi pada tugas disebut hard worker, karena lebih menyukai dan mengutamkan penyelesaian tugas beratdan menantang.
Ada tiga faktor penunjang menurut F.E Fiedler, agar kepemimpinan model kontinjensi ini bisa lebih efektif.
1. Hubungan anggota dengan pemimpin (leader-member relation)
Hubungan ini mengidentifikasi sampai sejauh mana seorang pemimpin dapat diterima atau ditolak oleh anggota dalam kelompoknya. Pemimpin yang disukai dan diterima keberadaannya akan mampu menggerakkan bawahan melalui fleksibilitas penggunaan otoritas formalnya. Kondisi tersebut berpengaruh pada ke-efektifan kepemimpinannya. Bila tidak, maka akan terjadi sebaliknya.
2. Struktur tugas (task structure)
Struktur tugas ini meliputi tugas rutin sampai dengan yang insidental. Hanya untuk tugas-tugas yang rumit, insidental dan tidak terstandar dengan jelas saja yang memerlukan keterlibatan aktif dari pemimpin.
3. Otoritas wewenang (leader position power)
Otoritas ini meletakkan posisi pemimpin tentang sejauh mana dia memiliki legitimasi formal (legitimate formal), memberi penghargaan (reward power), memberi sanksi atau hukuman (coerceive power), rasa kagum atau bangga terhadap bawahannya (referent power) dan keahlian dalam mempimpin bawahan (expertise power).

Actuating : Memotivasi Bawahan
Untuk memotivasi bawahan dalam upaya menggerakkan dan mendayagunakan potensinya, harus diketahui lebih dulu tentang kebutuhan atau kepentingan bawahan. Tanpa mengetahuinya secara pasti proses motivasi ini tidak banyak berguna.
Dalam hal ini, setidaknya ada tiga faktor utama yang mempengaruhi motivasi, yaitu:
1. Perbedaan karakterisitik individu, yang meliputi kebutuhan nilai, sikap dan minat
2. Pekerjaan, yang meliputi persyaratan keterampilan, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi dan tipe-tipe penilaian/kondite.
3. Lingkungan kerja (organisasi), yang meliputi peraturan, kebijakan, sistem penghargaan (reward) dan misi organisasi.
Ketiga faktor tersebut memiliki pengaruh yang kuat terhadap mobilitas perilaku individu.

MANAJEMEN KONFLIK
Organisasi sebagai suatu proses akan berekses pada munculnya interaksi yang selalu dinamis. Perbedaan karakterisitik psikologis, pola pikir dan gaya berkomunikasi berpotensi menimbulkan konflik antar individu. Ini adalah perubahan organisasi yang harus diatasi oleh pemimpin. Keberhasilan pemimpin dalam mengatasi konflik bergantung pada kemampuannya mengenali penyebab konflik, memilih pendekatan yang sesuai dalam memecahkan konflik dan menerapkan alternatif pemecahan.
Konflik akan memiliki konotasi positif dan negatif, tergantung pada cara pemimpin memandang hakikat konflik dan pengaruhnya terhadap efekvifitas pencapaian tujuan organisasi. Bila pandangan negatif, maka dia akan memandang orang (individu atau kelompok) sebagai oposisi bagi dirinya. Dalam hal ini konflik akan dipandang sebagai agresi (serangan), kekerasan dan kompetisi yang merusak. Pandangan yang negatif terhadap konflik akan mewarnai sikap pemimpin untuk mengutamakan kemenangan dari pada timbulnya pemecahan masalah yang efektif bagi organisasi yang eksesnya akan menghambat pemecahan masalah secara fair.
Sebagaimana dinamika kehidupan pada kelompok yang pluralistik dengan berbagai kepentingan, konflik merupakan suatu keniscayaan adanya. Karena itu konflik tidak harus dihindari, tetapi perlu dikelola, diarahkan dan dipecahkan sehingga mempunyai kontribusi yang positif bagi tercapainya tujuan organisasi secara efektif.
Untuk melengkapi tulisan ini perlu dijelaskan tentang cara pandang lama dan baru terhadap konflik yang dimiliki oleh seorang pemimpin.

Pandangan Lama Pandangan Baru
1. Konflik harus dihilangkan dari organisasi karena dapat mengganggu organisasi dan merusak prestasi 1. Konflik sesungguhnya meningkatkan prestasi organisasi, maka harus dikelola dengan baik
2. Dalam organisasi yang baik tidak ada konflik 2. Dalam organisasi yang baik, konflik yang memuncak dapat mendorong bawahan memacu prestasi
3. Konflik harus dihindari 3. Konflik merupakan bagian integral dari kehidupan organisasi
4. Konflik itu negatif karena dapat menjerumus ke tingkat stres yang lebih tinggi, memunculkan kejahatan dan sabotase berbagai program 4. Konflik itu baik karena dapat merangsang orang untuk memecahkan masalah penyebab timbulnya konflik
5. Dengan mengkoordinasikan lingkungan kerja secara baik, pemimpin akan dapat dapat membentuk perilaku bawahan sepenuhnya. 5. Banyak faktor-faktor situasional dan harus menghadapi kemungkinan terjadinya konflik

Demikian kontribusi pemikiran yang dapat saya sampaikan pada LDK OSIS Man 1 pamekasan masa bakti 2008-2009. Semoga bermanfaat dalam rangka memperkaya khasanah keilmuan kita. Amien Ya Rabbal ‘Alamien




***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar